
Saat GARDA BMI Mulai Berpuisi
Riyadh - Sepanjang pengetahuan saya, jarang sekali ada komunitas pekerja migran yang menyelenggarakan sebuah acara—dalam rangka apapun—dengan menghadirkan pentas puisi musikal dan drama teatrikal. Umumnya, rangkaian acara hanya terdiri dari sambutan-sambutan normatif, tarian tradisional sebagai selingan, lalu ditutup dengan musik dangdut. Tidak ada yang salah dengan itu. Seni rakyat adalah bentuk ekspresi yang paling dekat dengan keseharian pekerja migran—mudah dicerna, hangat, dan akrab.
Dan fenomena ini wajar saja, sebab puisi dan drama belum menjadi bentuk ekspresi yang populer di kalangan pekerja migran. Selain segmentasinya yang lebih sempit, pertunjukan semacam ini juga menuntut kapasitas literasi sastra yang memadai agar bisa dinikmati dan dipahami secara menyeluruh.
Namun, ketika komunitas GARDA BMI di Riyadh mengangkat puisi musikal dan drama teatrikal sebagai inti acara, kita seperti menyaksikan anomali kecil. Sebuah keberanian untuk keluar dari pakem. Inisiatif ini dipimpin oleh Jenal Abidin—seorang aktivis PMI berlatar pendidikan Sastra Inggris. Ia mungkin bukan penyair besar, tetapi ia sedang menguji hipotesis sederhana: bahwa panggung migran bisa menjadi lebih dari sekadar ruang hiburan. Ia bisa menjadi arena kontemplasi.
Ini juga merupakan pertanda bahwa komposisi pekerja migran mulai mengalami pergeseran ke arah yang lebih positif, jika kita lihat dari kategori pekerjaan dan tingkat pendidikan rata-rata mereka. Meski demikian, kita tetap perlu bersikap realistis. Data BP2MI mencatat bahwa hingga beberapa tahun terakhir, sekitar 60–70% pekerja migran Indonesia di Arab Saudi masih bekerja di sektor domestik sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT).
Dari sisi pendidikan, mayoritas masih didominasi oleh lulusan SD dan SMP yang mencapai sekitar 65%, disusul oleh lulusan SMA sebesar 30%, dan hanya sebagian kecil yang bergelar diploma atau sarjana—jumlahnya bahkan tidak mencapai 5%.
Kondisi ini sejalan dengan tren tenaga kerja asing di Arab Saudi secara umum. Sekitar 70–80% dari total pekerja asing di negara ini bekerja di sektor informal—seperti konstruksi, rumah tangga, kebersihan, pertanian, dan transportasi ringan. Sektor konstruksi menjadi penyerap tenaga kerja asing terbesar, yakni sekitar 26–27%, diikuti oleh sektor ritel dan grosir sekitar 22%, serta sektor domestik sekitar 15%. Data ini merujuk pada temuan Gulf Labour Markets and Migration (GLMM) dalam laporan mereka tentang struktur ketenagakerjaan migran di negara-negara Teluk.
Sementara itu, pekerja migran yang beroperasi di sektor formal dan terampil—seperti kesehatan, pendidikan, teknik, teknologi informasi, dan keuangan—hanya mencakup sekitar 15% dari keseluruhan tenaga kerja asing di Arab Saudi. Angka ini dikutip dari laporan "Saudi Arabia's Plan to Change Its Foreign Workforce" yang diterbitkan oleh Migration Policy Institute (MPI), yang menyoroti dominasi pekerja non-terampil dalam struktur ketenagakerjaan migran di Kerajaan tersebut.
Dalam konteks ini, kehadiran panggung puisi dan drama yang dipelopori komunitas seperti GARDA BMI menjadi sesuatu yang melampaui statistik. Ia menandakan tumbuhnya kesadaran baru, bahwa ekspresi budaya dan literasi bisa hidup bahkan di tengah tekanan ekonomi dan kerja keras migran. Ini bukan hanya tentang seni, tetapi juga tentang transformasi sosial yang perlahan namun nyata.
Puisi sebagai Medium Perlawanan
Ketika Izza, seorang bidan di rumah sakit swasta, naik ke panggung dan membaca puisinya dengan suara bergetar, saya membayangkan ini seperti seorang ekonom yang memilih menyampaikan ketimpangan bukan lewat data Gini Ratio, tapi lewat narasi. Puisinya bukan agitasi. Bukan juga tuntutan. Tetapi semacam cermin yang tenang dan dingin—menyajikan luka tanpa banyak dramatisasi.
Apakah langkahmu cukup panjang untuk menjangkau derita kami di gang-gang sempit Riyadh?”
Kami bukan pemberontak.
Kami bukan kriminal.
Kalimat-kalimat itu menembus ruang. Sunyi. Tapi terasa.
Di antara deretan pejabat yang hadir, Atase Hukum KBRI Riyadh, Dr. Erianto, terdiam. Sebuah jeda yang jujur. Jeda yang, barangkali, tak bisa digantikan oleh selembar SOP perlindungan warga negara.
Puisinya, berjudul “Tanya yang Tak Sempat Dijawab,” bukan sekadar kisah pribadi. Ia adalah akumulasi dari banyak jeritan sunyi: paspor yang tak dikembalikan, gaji yang tak dibayar, luka yang tak bisa dilaporkan. Dr. Erianto, hanya terdiam sejenak. Tapi dalam jeda itu, kita tahu: puisi sudah bekerja.
Puisi kedua datang dari Uswatun Chasanah, rekan Izza. Puisinya lebih lirih, lebih sunyi, tetapi justru di situ letak kekuatannya. Ia bicara tentang tubuh yang dieksploitasi, tentang ruang kerja tanpa cermin. Simbol sederhana, tetapi kuat: tak ada ruang untuk mengenali diri sendiri.
Ket: Foto: dok.JAPRI) (Foto: Japri)
Tanganmu yang mencincang, Biarkan Bahumu yang menopang .
Ungkapan metaforis yang muncul dalam puisi-puisi Izza dan Uswah, bukan sekadar permainan kata, tapi bentuk perlawanan simbolik terhadap situasi yang menekan. Dan tentu saja, Dr. Erianto—Atase Hukum KBRI—punya jawaban atas semua keresahan itu. Mau dijawab secara struktural: ada regulasi, protokol perlindungan, jalur pengaduan. Mau dijawab secara kultural: ada pendekatan sosial, edukasi komunitas, dan diplomasi kemanusiaan. Lengkap. Tapi tetap saja, puisi-puisi tadi bukan sedang meminta solusi teknis. Mereka sedang mengetuk bagian terdalam dari urusan ini: apakah kita benar-benar mendengar, atau sekadar menjawab?
Intinya, prinsip pelindungan dan pembelaan terhadap kasus-kasus yang menimpa Pekerja Migran Indonesia (PMI) tetap harus mengacu pada regulasi yang berlaku di kedua negara—baik hukum Indonesia maupun hukum Arab Saudi. Inilah medan rumitnya: antara keadilan normatif yang tertulis dalam aturan, dan keadilan moral yang disuarakan lewat puisi. Ketika keduanya tidak selalu sejalan, maka tugas negara bukan hanya memastikan jalur hukum berjalan, tetapi juga merawat ruang-ruang kemanusiaan agar suara-suara seperti Izza dan Uswah tidak sekadar didengar—tapi dipahami.
Prinsip pelindungan terhadap PMI di luar negeri memang tidak bisa dilepaskan dari kerangka hukum yang berlaku. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) dengan tegas menyatakan dalam Pasal 6 bahwa negara berkewajiban memberikan pelindungan sebelum, selama, dan setelah bekerja. Namun, pelindungan ini tidak serta-merta memberi kekebalan hukum atau impunitas bagi warga negara Indonesia yang melanggar hukum di negara penempatan.
Dalam konteks ini, Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Internasional 1990 tentang Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya melalui UU No. 6 Tahun 2012, yang menegaskan bahwa pekerja migran berhak atas perlindungan hukum, tetapi tetap harus tunduk pada sistem hukum nasional negara penerima. Maka, dalam setiap kasus yang muncul, negara harus berjalan di garis tipis antara membela warganya dan menghormati kedaulatan hukum negara lain—di sinilah peran diplomasi, advokasi, dan edukasi hukum menjadi sangat krusial.
Dr. Erianto dalam banyak kesempatan sering kali menyitir ungkapan metafor yang berasal dari Minangkabau: "Tanganmu yang mencincang, biarkan bahumu yang menopang." Ungkapan ini mengajarkan etika tanggung jawab—bahwa siapa pun yang melakukan kesalahan atau menyakiti orang lain, harus bersedia menanggung akibatnya sendiri, bukan melemparkannya ke orang lain atau menghindar dari konsekuensinya.
Dalam budaya Sumatra, khususnya Minangkabau, nilai marwah, harga diri, dan tanggung jawab sosial bukan sekadar norma, melainkan fondasi hidup bermasyarakat. Menyitir ungkapan ini dalam konteks pekerja migran bukan hanya mengingatkan bahwa setiap pelanggaran tetap harus dipertanggungjawabkan secara individu, tetapi juga bahwa negara dan masyarakat memiliki kewajiban moral untuk menopang—bukan membebaskan—tetapi menopang proses penyelesaian secara adil, bermartabat, dan manusiawi. Di tengah kompleksitas relasi antarnegara, nilai-nilai lokal seperti ini menjadi jangkar etis yang relevan lintas batas.Top of FormBottom of Form
Pak Kholid Ibrahim, Atase Tenaga Kerja di KBRI Riyadh, secara jujur mengakui adanya keluhan dari masyarakat terkait keterlambatan penanganan berbagai kasus yang dilaporkan. Namun menurutnya, keterlambatan itu bukan semata karena kelalaian, melainkan juga karena dinamika birokrasi yang tidak selalu bisa dihindari. Dalam konteks hubungan diplomatik, KBRI tidak bisa serta-merta mengambil tindakan cepat tanpa melalui prosedur yang ditetapkan oleh negara penerima. Salah satu tantangan utama adalah keharusan untuk terlebih dahulu mendapatkan izin dari Kementerian Luar Negeri Arab Saudi (MOFA) sebelum melakukan koordinasi atau pertemuan dengan otoritas lokal. Bahkan, Pak Kholid mengaku beberapa kali menerima teguran dari pihak MOFA karena mengambil inisiatif melakukan pertemuan tanpa persetujuan resmi terlebih dahulu.
Ket: Foto: dok.JAPRI) (Foto: Japri)
Ini menunjukkan bahwa dalam diplomasi, secepat apa pun niat untuk bertindak, semua langkah tetap harus melewati jalur formal yang ditetapkan. Maka dari itu, publik perlu memahami bahwa pelindungan terhadap PMI di luar negeri tidak bisa hanya diukur dari kecepatan respons, tetapi juga dari kemampuan untuk menjaga keseimbangan antara kepatuhan terhadap hukum negara penerima dan komitmen moral untuk membela warganya.
Komitmen negara untuk selalu hadir dalam setiap permasalahan yang menimpa Pekerja Migran Indonesia (PMI) bukanlah janji kosong—itu sebuah prinsip yang terus dijalankan. Hal ini kembali ditegaskan oleh Pak Mahendra, PF Pensosbud KBRI Riyadh, yang mewakili Duta Besar dalam acara tersebut. Dalam sambutannya, ia menyampaikan sejumlah langkah konkret yang menunjukkan keseriusan pemerintah dalam memperkuat pelindungan PMI, salah satunya adalah kedatangan delegasi dari Kepolisian Republik Indonesia ke Arab Saudi dalam rangka pertemuan bilateral.
Pertemuan tersebut menghasilkan nota kesepahaman (MoU) antara otoritas penegak hukum kedua negara yang bertujuan untuk memperkuat sinergi dalam menangani isu-isu hukum dan pelindungan terhadap WNI, termasuk PMI. Setiap langkah ini patut diapresiasi karena menunjukkan bahwa pelindungan bukan sekadar narasi retoris, tetapi dijalankan melalui kerja diplomasi yang terukur dan terstruktur. Ini sekaligus menjadi bukti bahwa negara tidak pernah abai ketika warganya menghadapi persoalan di luar negeri—kehadiran negara selalu diusahakan, meski harus melewati jalan panjang diplomasi dan kerja sama lintas yurisdiksi.
Pak Syarif Ahmad, PF Politik dan Keamanan KBRI Riyadh, turut mengingatkan pentingnya kewaspadaan dalam menggunakan media sosial, termasuk dalam grup WhatsApp (WAG). Ia menekankan bahwa aktivitas digital di Arab Saudi diawasi secara ketat oleh otoritas keamanan siber, sehingga setiap bentuk komunikasi yang dianggap melanggar ketertiban umum, merujuk pada ujaran kebencian, hasutan, atau bahkan dianggap berpotensi mengarah pada pelanggaran terhadap Undang-Undang Keamanan Negara dan regulasi anti-terorisme, dapat menimbulkan konsekuensi hukum yang serius.
Oleh karena itu, beliau mengimbau seluruh komunitas PMI untuk lebih bijak dan bertanggung jawab dalam menyampaikan pendapat di ruang digital. Etika digital bukan hanya soal kesantunan, tetapi juga soal keselamatan hukum, terutama bagi warga negara asing yang berada di bawah yurisdiksi hukum negara lain. Pesan ini menjadi pengingat penting bahwa ruang virtual bukanlah zona bebas nilai—setiap jejak digital bisa menjadi cermin integritas sekaligus risiko, jika disalahgunakan.
Acara ini bukan semata seremoni, melainkan cermin dari semangat kolektif untuk terus memperkuat simpul-simpul pelindungan, keadaban, dan martabat pekerja migran Indonesia di luar negeri. Di tengah dinamika tantangan yang dihadapi—baik secara struktural, budaya, maupun hukum lintas negara—kehadiran negara tetap menjadi jangkar harapan. Namun, pelindungan tak bisa berjalan satu arah. Ia menuntut partisipasi aktif, kesadaran hukum, dan etika sosial dari setiap individu PMI.
Seperti pesan moral yang terkandung dalam pepatah Minangkabau yang dikutip Dr. Erianto, marwah kita dijaga bukan dengan menuntut perlakuan istimewa, melainkan dengan keberanian menanggung konsekuensi dan menghormati hukum tempat kita berpijak. Dan seperti diingatkan Pak Syarif, di era digital ini, bijak bersuara adalah bagian dari upaya menjaga keselamatan kolektif.
Dengan segala dinamika dan keterbatasan, langkah-langkah kecil seperti forum dialog ini adalah bentuk nyata kehadiran negara sekaligus ruang belajar bersama untuk terus menjadikan pelindungan PMI tidak hanya sebagai mandat undang-undang, tetapi sebagai kesadaran kebangsaan. Sebab pada akhirnya, kehormatan bangsa di mata dunia terpantul dari cara kita memperlakukan, mendengar, dan melindungi warganya di mana pun mereka berada.
Author : Ari Mustarinudin01-08-2025 22:20 WAS