
GARDA BMI dan Dinamika Sosial Komunitas Diaspora
Riyadh - Perayaan ulang tahun ke-10 GARDA BMI yang berlangsung di Riyadh pada 25 Juli lalu menyisakan sejumlah catatan penting—bukan hanya sebagai acara internal organisasi, tetapi sebagai refleksi dari dinamika sosial Pekerja Migran Indonesia (PMI) di luar negeri. Bagi saya, ini bukan sekadar seremoni. Ini adalah jendela yang memperlihatkan bagaimana komunitas migran membangun daya lenting sosial di tengah keterbatasan.
GARDA BMI, sebuah organisasi yang lahir dari akar rumput, hari ini genap berusia satu dekade. Usia sepuluh tahun bagi organisasi berbasis komunitas adalah capaian yang tidak sederhana. Ada konsistensi, relevansi, dan daya tahan di situ. Namun yang lebih penting dari perayaan ini adalah konteks yang menyertainya—tentang bagaimana buruh migran Indonesia di Arab Saudi tidak hanya menjadi subjek kebijakan, tetapi pelaku aktif dalam membentuk ruang sosial mereka sendiri.
Yang menarik, perayaan kali ini dibungkus dengan pendekatan digital yang tidak biasa. Materi promosi acara dirancang dengan bantuan artificial intelligence (AI), menghasilkan visual dan narasi yang estetik dan informatif. Ini adalah bentuk adaptasi digital yang jarang dibicarakan: bahwa teknologi bukan hanya dimiliki oleh sektor formal atau kalangan menengah-atas, tetapi juga telah menjadi alat produksi kreatif bagi komunitas migran.
Lebih jauh, tema yang diangkat—Merajut Kebersamaan, Membangun Organisasi yang Solid—menggambarkan pentingnya social cohesion sebagai prasyarat organisasi yang efektif. Tema ini teraktualisasi dalam berbagai aktivitas: diskusi publik bertajuk KBRI Menjawab, penampilan puisi musikal, drama simbolik, tari budaya, hingga pertunjukan musik lokal. Ini bukan sekadar hiburan, melainkan mekanisme konsolidasi sosial yang bekerja dalam ekosistem komunitas.
Dalam sambutan pembuka, Aji Teguh, seorang profesional PMI sekaligus figur publik lokal, menekankan pentingnya keberlanjutan organisasi. Yel-yel “GARDA BMI MUMTAZ!” yang ia sampaikan bukan hanya ekspresi euforia, tetapi simbol dari kohesi identitas kolektif. Ini mirip dengan apa yang disebut Robert Putnam sebagai bonding capital: keterikatan sosial yang memperkuat relasi intra-komunitas. Melalui cara yang sederhana namun penuh makna, Aji tidak hanya memanaskan suasana, tapi juga menegaskan bahwa kebersamaan adalah fondasi utama dari gerakan sosial berbasis komunitas seperti GARDA.
Kehadiran para pejabat KBRI menjadi poin penting lainnya. Mulai dari Atase Pendidikan dan Kebudayaan, Atase Hukum, Atase Tenaga Kerja, hingga perwakilan fungsi politik dan sosial budaya, semua hadir dan terlibat aktif. Dialog dua arah yang terjadi dalam forum ini menjadi ruang koreksi, klarifikasi, sekaligus afirmasi bagi kebijakan yang menyentuh langsung kehidupan PMI.
Yang patut dicatat adalah kehadiran Prof. Muhammad Irfan Helmy, Atase Pendidikan dan Kebudayaan. Biasanya, pejabat dengan portofolio pendidikan lebih sering hadir dalam kegiatan akademik yang formal. Namun kali ini, ia hadir dalam ruang sosial komunitas. Dan kehadirannya membawa informasi penting—tentang peluang beasiswa dan akses pendidikan untuk anak-anak PMI. Ini adalah titik temu antara kebijakan pendidikan dan dinamika diaspora.
Satu contoh konkret adalah Rayyan Mukhtar Ali, putra dari tokoh PMI, Tatang Muhtar. Rayyan baru saja diterima di ITS Surabaya pada jurusan Rekayasa Kecerdasan Artifisial. Ini bukan sekadar cerita sukses personal, tapi indikator dari apa yang disebut sebagai intergenerational mobility—perpindahan status sosial dan ekonomi antargenerasi. Ia memperlihatkan bahwa anak buruh migran bisa menembus ruang-ruang pendidikan tinggi di tanah air.
Ket: Foto: dok.JAPRI) (Foto: Japri)
Dalam salah satu sesi, Atase Tenaga Kerja, Pak Kholid Ibrahim, memaparkan data resmi dari Jawazat: ada sekitar 361.009 WNI di Arab Saudi, dengan 90% di antaranya adalah PMI. Namun, seperti lazimnya data statistik, ini hanya menampilkan apa yang tercatat. Banyak yang tidak tercatat karena overstay atau tidak tersinkronisasi sistem. Jumlah riilnya bisa dua kali lipat. Artinya, ada lebih dari 700.000 WNI yang hidup dan bekerja di Arab Saudi—sebuah komunitas diaspora besar yang sering kali berada di luar radar pembuat kebijakan.
Pertanyaannya: apakah kita sudah menganggap mereka sebagai bagian dari strategi pembangunan nasional? Apakah kebijakan luar negeri kita sudah cukup inklusif untuk menempatkan diaspora sebagai aktor, bukan sekadar objek?
GARDA BMI lewat acara miladnya memberikan sinyal bahwa komunitas ini hidup, bergerak, dan punya aspirasi. Mereka membangun sistem pendukung sendiri, memperkuat jejaring sosial, dan membuka kanal dialog dengan negara. Tentu, dukungan struktural tetap dibutuhkan. Tetapi lebih dari itu, yang dibutuhkan adalah pengakuan: bahwa buruh migran bukan sekadar penyumbang devisa, tetapi warga negara aktif dengan kontribusi nyata dalam diplomasi sosial dan pembangunan komunitas.
Selamat ulang tahun ke-10, GARDA BMI. Sepuluh tahun adalah permulaan. Tantangan ke depan akan lebih kompleks. Tapi jika pengalaman satu dekade ini adalah indikator, maka saya optimistis: organisasi ini akan terus tumbuh, seiring tumbuhnya kesadaran kolektif akan pentingnya suara dan peran diaspora dalam ekosistem bangsa. Semoga! ?
Bersambung ke Part 2: “Puisi Izza Menyentil Penguasa”
Author : Ari Mustarinudin27-07-2025 17:20 WAS