... Ket: Foto: dok.JAPRI) Foto : (Japri)

The Power of Kepepet Perang Iran vs Israel: Justru Mensolidkan Kita di Tanah Rantau

Riyadh - Hidup itu aneh. Ketika semua orang sedang bersuka cita menyambut revolusi industri 4.0, justru kita makin dimanjakan untuk tidak bergerak. Bahkan mungkin sudah tidak perlu berpikir.

Mesin sudah menggantikan banyak hal: otak untuk menganalisis, tangan untuk bekerja, dan kadang—ironisnya—hati untuk merasa. Hidup menjadi efisien, tapi terasa hampa. Seperti tubuh yang terlalu lama rebahan: darahnya mengalir malas, ototnya beku, semangatnya padam.

Kita memang semakin pintar, tapi juga semakin malas.

Semua itu bermula dari satu loncatan: Covid-19.

Pandemi itu seperti reset besar-besaran. Pola hidup berubah, cara kerja berubah, dan hubungan manusia pun berubah. Kita tak lagi bertatap muka. Bahkan saling menyentuh pun dianggap bahaya. Tapi, justru di titik paling mengerikan itu, teknologi naik panggung utama.

Dan sekarang, ketika dunia belum benar-benar pulih, datang lagi satu babak baru: perang Iran vs Israel.

Kabar itu cepat sekali menyebar ke Arab Saudi. Dan di sini—tanah rantau tempat ratusan ribu WNI menggantungkan hidup—kita mendadak panik. Tapi bukan panik yang membuat chaos. Panik yang justru membuat kita berpikir cepat. Bergerak cepat.

KBRI langsung siaga satu. Tim dibentuk. Protokol evakuasi disusun. Semua kemungkinan diskenariokan.

Tapi dari semua itu, ada satu hal yang diam-diam paling mencolok: program “lapor diri” bagi PMI yang selama ini seret jalannya, mendadak jadi prioritas.

Sebelumnya? Jangan tanya. Rasanya seperti memaksa air mengalir ke atas. Jumlah PMI menurut Jawazat (Imigrasi Arab Saudi) sekitar 360 ribu. Tapi yang tercatat di KBRI? Baru sekitar 150 ribu.

Kenapa?
Ya karena kebanyakan tidak melapor.

Mungkin dianggap ribet. Mungkin tidak merasa penting. Atau memang tidak tahu.

Tapi sekarang, dengan ancaman perang nyata di depan mata, semua berubah. Kebutuhan mendadak jadi mendesak. Dan di situlah “the power of kepepet” bekerja.

KBRI tak perlu sistem canggih-canggih. Tak perlu lelang proyek ratusan juta. Cukup aplikasi berbasis web—sekelas Google Form saja. Dibuat dalam hitungan jam. Disebar ke grup WhatsApp. Saling bantu share. Saling ingatkan.

Hasilnya?
Data masuk. Bertubi-tubi. Tanpa protokol panjang. Tanpa seminar. Tanpa workshop.

Teknologi ternyata tidak harus rumit. Kadang cukup kepepet dan niat.

Kadang, justru di tengah tekanan, manusia menemukan kembali fitrahnya: bergerak. Mencari jalan keluar. Menyambung kembali relasi yang sempat putus—antara rakyat dan negara, antara warga dan perwakilan resminya.

Dan ya, mungkin inilah berkah tersembunyi dari keadaan genting: kita jadi saling peduli.

Dan di tengah badai geopolitik yang bisa datang kapan saja, kita di tanah rantau tidak boleh merasa sendiri.

Justru sekaranglah saatnya saling menggenggam, saling menguatkan. Kita bisa semakin solid bukan hanya karena punya satu tanah air, tapi karena punya satu rasa: senasib, sepenanggungan, dan sepenuh harapan.

Di Riyadh, wadah itu bernama Jalinan Persaudaraan Indonesia (JAPRI). Sebuah federasi paguyuban yang lahir dari semangat gotong royong para perantau. Di sinilah kita bisa saling berbagi kabar, saling bantu dalam kesulitan, dan saling kuatkan saat rindu rumah terlalu berat.

Grup WhatsApp JAPRI kini menjadi rumah maya tempat kita saling menyapa. Sederhana memang, hanya sekadar grup WA. Tapi dari situlah kita mulai merajut kembali benang-benang persaudaraan yang mungkin sempat longgar.

Bagi yang baru bergabung:
Selamat datang. Selamat menjadi bagian dari keluarga besar di rantau.
Jangan ragu bertanya, jangan sungkan memberi kabar. Karena di sinilah tempatnya: JAPRI, bukan sekadar paguyuban—tapi pelukan hangat dari jauh. Merdeka!

 

Author : Ari Mustarinudin
27-06-2025 01:31 WAS