... Ket: Foto: dok.JAPRI) Foto : (Japri)

Zionisme: Di Simpul Luka Sejarah dan Jerat Identitas

Riyadh - Setiap kali perang kembali diledakkan oleh Israel di Timur Tengah, saya selalu terdorong membuka ulang satu buku yang kerap luput dari radar pembacaan awam: Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Zionisme, ditulis oleh Prof. Jacob Katz & Friends—sejarawan Yahudi yang berusaha menghadirkan narasi akademik dan historis tentang kemunculan Zionisme sebagai gerakan politik. Buku ini bersumber dari Encyclopaedia Judaica, dan meski ditulis oleh tangan-tangan Yahudi, ia menyajikan satu potret jujur tentang bagaimana benih-benih ide Zionisme disemai dari tanah Eropa, lalu tumbuh besar menancapkan akarnya di Palestina.

Zionisme, pada mulanya, lahir bukan dari altar keagamaan, melainkan dari panggung politik modern. Ia adalah anak kandung dari era nasionalisme sekuler Eropa—lahir dari ketakutan, trauma, dan keterasingan yang mendera orang Yahudi dalam diaspora panjang sejarah mereka. Gagasan tentang "tanah air" yang aman bagi kaum Yahudi pada awalnya tampak seperti proyek penyelamatan. Namun dalam perjalanan waktu, proyek ini menjelma menjadi kekuatan politik besar yang mendorong pendirian negara Israel di atas tanah yang telah lama dihuni bangsa lain.

Buku ini memang membuka jendela penting bagi pemahaman kita, namun karena bersumber dari ensiklopedia Yahudi dan disusun oleh para akademisi dari komunitas tersebut, pembaca perlu bersikap jernih dan kritis. Untuk melihat utuh mosaik sejarah ini, perlu diimbangi dengan bacaan dari perspektif lain, seperti The Iron Cage karya Rashid Khalidi, A History of the Arab Israeli Conflict oleh Ian J. Bickerton & Carla Klausner, serta Ten Myths About Israel tulisan Ilan Pappé.

Agama Yahudi dan Zionisme: Dua Hal yang Tak Identik

Kerap kali terjadi kekeliruan di ruang publik yang menyamakan Zionisme dengan agama Yahudi, seolah keduanya adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Padahal, secara historis maupun esensial, keduanya berdiri di atas landasan yang sangat berbeda—bahkan sering kali saling bertentangan. Agama Yahudi adalah tradisi spiritual yang telah berakar lebih dari tiga milenium, berporos pada ketaatan kepada hukum Tuhan (Torah), nilai-nilai kesucian moral, dan pengharapan mesianistik yang bersifat ilahiah. Sebaliknya, Zionisme adalah proyek politik modern yang muncul dari krisis identitas dan gelombang nasionalisme sekuler di Eropa pada akhir abad ke-19.

Tokoh sentral gerakan Zionisme, Theodor Herzl, bukanlah seorang rabi atau cendekiawan agama, melainkan jurnalis dan intelektual sekuler yang melihat kegagalan asimilasi kaum Yahudi di masyarakat Eropa sebagai pangkal dari penderitaan mereka. Dalam bukunya Der Judenstaat (Negara Yahudi), Herzl mengusulkan pendirian sebuah negara bangsa bagi orang Yahudi sebagai solusi terhadap antisemitisme. Namun, gagasan ini ditolak oleh banyak tokoh Yahudi Ortodoks. Bagi mereka, pendirian negara Yahudi secara politis justru merupakan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip iman. Mereka meyakini bahwa kembalinya kaum Yahudi ke Tanah Suci bukanlah proyek manusia, melainkan bagian dari janji Tuhan yang akan tergenapi di masa depan melalui kedatangan Mesias.

Dari sinilah pentingnya membedakan secara jernih antara menjadi seorang Yahudi dan menjadi seorang Zionis. Yang pertama adalah soal keyakinan religius yang terikat pada wahyu dan tradisi ilahi, sedangkan yang kedua adalah ideologi nasionalis yang lahir dari dinamika geopolitik modern. Tidak semua Yahudi adalah Zionis, dan tidak semua Zionis mewakili nilai-nilai Yahudi. Memahami perbedaan ini adalah langkah awal untuk menelaah konflik yang lebih luas dengan sudut pandang yang adil dan historis.

Theodor Herzl, tokoh sentral Zionisme, bukanlah pemuka agama, melainkan jurnalis yang kecewa atas kegagalan asimilasi kaum Yahudi di Eropa. Ia menyimpulkan bahwa solusi dari antisemitisme adalah negara Yahudi yang berdiri sendiri. Namun dalam pandangan banyak tokoh Yahudi Ortodoks, justru keinginan mendirikan negara ini merupakan bentuk penyimpangan, karena pemulangan kaum Yahudi ke Tanah Suci, menurut keyakinan mereka, hanya dapat terjadi atas kehendak Tuhan, bukan lewat mesin politik manusia.

Di sinilah kita belajar membedakan dengan cermat: menjadi Yahudi tidak serta-merta berarti menjadi Zionis. Yang satu adalah iman, yang lain adalah ideologi.

Ketika Proyek Pembebasan Menjelma Penaklukan

Setiap proyek politik besar hampir selalu lahir dari hasrat pembebasan. Namun sejarah menunjukkan, tidak semua pembebasan membawa keadilan; sebagian justru menciptakan bentuk baru dari perampasan. Begitu pula halnya dengan Zionisme. Sebagai ide, ia mengekspresikan kerinduan kolektif bangsa Yahudi akan tanah air setelah berabad-abad hidup dalam diaspora dan diskriminasi. Namun, ketika ide ini mengeras menjadi proyek negara, dan tanah yang dijanjikan itu telah berpenghuni, proyek pembebasan tersebut bergeser menjadi proyek penaklukan.

Zionisme tidak berangkat dari kekosongan geografis. Palestina pada akhir abad ke-19 bukanlah wilayah sunyi. Ia adalah rumah bagi komunitas Arab yang hidup dalam harmoni sosial dan tatanan agraris. Mereka bertani, berdagang, mendirikan sekolah, dan membangun jaringan kehidupan yang otentik dan berakar. Ketika gelombang imigrasi Yahudi meningkat, terlebih setelah Kongres Zionis menetapkan Palestina sebagai tujuan utama, ketegangan pun mulai menyusup ke celah kehidupan sehari-hari.

Retorika “tanah tanpa bangsa untuk bangsa tanpa tanah”—seperti yang kerap didengungkan oleh para pendiri Zionisme—mengabaikan realitas bahwa Palestina bukan ruang kosong, melainkan wilayah berdaulat secara sosial dan budaya. Dalam Ten Myths About Israel, Ilan Pappé dengan lugas menyingkap mitos tersebut sebagai bagian dari narasi kolonial yang dimaksudkan untuk melegitimasi proyek pendudukan.

Puncak dari transformasi ideologis ini terjadi pada tahun 1948, saat negara Israel diproklamasikan. Peristiwa yang dianggap sebagai puncak kemenangan Zionisme itu, bagi rakyat Palestina, menjadi Nakba—bencana nasional. Sekitar 700.000 warga Palestina diusir dari kampung halaman mereka, desa-desa dihancurkan, rumah-rumah diambil alih, dan tanah-tanah diklaim oleh negara baru. Proyek pembebasan bagi bangsa Yahudi menjelma menjadi penindasan sistematis terhadap rakyat Palestina.

Apa yang disebut oleh Rashid Khalidi dalam The Iron Cage sebagai "jeruji besi sejarah" adalah cerminan dari kondisi rakyat Palestina yang terperangkap oleh kekuatan luar—Zionisme, kolonialisme, dan geopolitik Barat. Mereka menjadi subjek penderitaan yang tidak memiliki ruang untuk menentukan nasibnya sendiri. Hak untuk kembali ke tanah kelahiran direduksi menjadi sekadar negosiasi politik yang tak pernah selesai, sementara hak eksistensial mereka dikaburkan oleh narasi dominan.

Zionisme, dalam kenyataannya, tumbuh dalam tanah yang telah dicangkul oleh kolonialisme. Deklarasi Balfour 1917, yang menyatakan dukungan Inggris atas "tanah air bagi orang Yahudi" di Palestina, bukanlah semata-mata bentuk simpati, melainkan strategi kekuasaan. Timur Tengah saat itu adalah kawasan vital dalam strategi imperialisme global, dan Zionisme menjadi mitra ideal bagi kepentingan tersebut.

Dalam A History of the Arab-Israeli Conflict, Bickerton dan Klausner menunjukkan bagaimana dukungan Barat terhadap Zionisme tidak dilandasi atas dasar keadilan historis, melainkan pertimbangan pragmatis akan kontrol kawasan. Palestina, bagi kekuatan besar dunia, hanyalah pion dalam permainan catur kekuasaan global.

Dengan demikian, ide pembebasan yang semula menjadi inspirasi spiritual dan historis, menjelma menjadi kekuatan yang mendorong pengusiran, penjajahan, dan penghapusan identitas bangsa lain. Ini adalah tragedi sejarah, di mana korban yang dahulu teraniaya, dalam proses perjuangannya, menjadi pelaku penindasan terhadap pihak lain yang tak kalah berhak atas tanah dan kemerdekaannya.

Sejarah mencatat: tak semua cita-cita luhur berjalan dalam jejak suci. Sebuah pembebasan sejati harus bertumpu pada prinsip keadilan yang tak meniadakan hak pihak lain. Ketika kebebasan dibangun di atas reruntuhan kebebasan bangsa lain, maka yang lahir bukanlah keadilan, melainkan hegemoni yang dibungkus narasi suci.

Palestina hari ini, di bawah bayang-bayang tembok dan senjata, adalah pengingat keras bahwa ideologi yang gagal merekonsiliasi idealisme dengan moralitas hanya akan melahirkan kekerasan yang terus beranak-pinak. 

Melampaui Polarisasi: Menuju Ruang Keadilan

Di zaman ketika kebenaran diseret ke dalam lorong-lorong gelap polarisasi, kita menyaksikan bagaimana konflik yang kompleks diringkus dalam dikotomi dangkal: pro-Palestina berarti anti-Yahudi, atau pro-Israel berarti anti-Arab. Narasi-narasi yang sempit ini membius ruang publik, menggiring manusia pada pilihan yang serba hitam-putih, padahal sejarah dan kemanusiaan selalu bergerak dalam gradasi yang lebih rumit.

Konflik Palestina–Israel bukanlah sekadar soal klaim teritorial, apalagi sekadar benturan antaragama. Ia adalah simpul sejarah panjang yang membenturkan trauma dengan trauma, penderitaan dengan pengabaian, dan identitas dengan penolakan. Dalam pusaran itu, sangat mudah bagi kita untuk jatuh ke dalam jerat keberpihakan yang membabi buta. Namun, keberpihakan sejati haruslah lahir dari kejernihan nalar dan ketulusan nurani, bukan dari gema kebencian atau hasrat balas dendam.

Mengkritik Zionisme sebagai proyek politik yang meminggirkan hak bangsa Palestina bukan berarti menolak eksistensi Yahudi. Sebaliknya, pembelaan atas hak hidup rakyat Palestina tidak identik dengan dukungan terhadap kekerasan atau fanatisme agama. Di antara dua kutub ekstrem inilah, ruang keadilan sejati harus dibangun: ruang yang tidak dikuasai oleh dendam sejarah, tetapi dihuni oleh kesediaan untuk mengakui penderitaan masing-masing pihak.

Rashid Khalidi dalam The Iron Cage menyebut bangsa Palestina sebagai bangsa yang dipenjara dalam kerangka politik yang tidak mereka ciptakan, dan tidak mereka sepakati. Namun hal yang sama juga bisa dikatakan tentang sebagian orang Yahudi, yang merasa keberadaan mereka terus-menerus dipertanyakan di tengah dunia yang masih menyimpan sisa-sisa antisemitisme. Artinya, baik Palestina maupun Yahudi—dalam dimensi manusianya—adalah dua bangsa yang memikul luka sejarah. Maka yang diperlukan bukanlah kompetisi luka, melainkan rekonsiliasi luka.

Keadilan sejati hanya bisa ditegakkan bila kita berani mengakui kebenaran yang tak menyenangkan. Bahwa negara Israel lahir melalui pengusiran dan pendudukan, itu fakta historis. Bahwa rakyat Yahudi mengalami sejarah panjang penganiayaan dan penolakan di berbagai belahan dunia, itu juga fakta tak terbantahkan. Dua kebenaran ini tak perlu saling meniadakan; keduanya perlu duduk bersama dalam meja nurani kolektif umat manusia.

Namun, rekonsiliasi tidak mungkin lahir tanpa keberanian politik dan kebijaksanaan moral. Zionisme sebagai proyek negara harus dikoreksi—bukan karena ia mewakili Yahudi, tetapi karena dalam pelaksanaannya, ia menyingkirkan hak asasi rakyat lain. Sebagaimana bangsa Yahudi punya hak atas rasa aman dan identitas, begitu pula bangsa Palestina punya hak untuk tinggal, hidup, dan bermartabat di tanah airnya sendiri.

Ke depan, dunia harus lebih cerdas dalam bersikap: tidak terjebak pada kutub ideologis, tetapi mengupayakan model keadilan transformatif—yang memberi ruang bagi kedua bangsa untuk hidup berdampingan, tanpa dominasi satu atas yang lain.

Jika luka sejarah adalah warisan, maka keadilan harus menjadi warisan baru. Kita tidak mewarisi dunia ini dari para leluhur untuk menebar dendam, melainkan untuk memperbaiki yang rusak, menyambung yang terputus, dan menghidupkan kembali yang hampir musnah: harapan.

Masa depan Palestina–Israel tak bisa digantungkan hanya pada kekuatan militer atau diplomasi formal, tapi pada kesadaran kolektif bahwa tidak ada bangsa yang benar-benar merdeka jika kemerdekaannya dibangun di atas penderitaan bangsa lain.

Maka melampaui polarisasi bukan berarti menjadi netral dalam ketidakadilan, melainkan menjadi jernih dalam melihat siapa yang dilukai, siapa yang menguasai, dan siapa yang harus dikembalikan haknya. Di sanalah ruang keadilan harus terus diperjuangkan. 

Cermin Luka, Cermin Diri

Dalam permenungan sejarah, kita kerap dihadapkan pada wajah-wajah luka yang tak selalu berasal dari kebengisan musuh, tetapi juga dari cermin diri kita sendiri. Sejarah Zionisme dan tragedi Palestina adalah satu di antara banyak cermin itu—yang merefleksikan bagaimana upaya membebaskan satu pihak bisa, tanpa sadar, menindas pihak lain.

Zionisme, bagi bangsa Yahudi, adalah refleksi atas duka panjang diaspora dan diskriminasi yang mereka alami selama ribuan tahun. Ia adalah upaya untuk merebut kembali martabat yang dirampas, untuk hidup tanpa ketakutan, dan untuk berdiri setara di panggung dunia. Namun, dalam proses menegakkan hak-hak itu, Zionisme terjerembab dalam jebakan kekuasaan—mengulang pola sejarah yang dahulu menyakitkan mereka, kini kepada bangsa lain.

Palestina, di sisi lain, adalah cermin luka yang tak kunjung sembuh. Di tanah yang dahulu menjadi rumah dan pusat kehidupan, mereka kini tercerai-berai: sebagian hidup sebagai pengungsi di tanah asing, sebagian bertahan di bawah pendudukan dan blokade, dan sebagian lainnya hanya menyimpan tanah airnya dalam puisi dan ingatan.

Dalam narasi besar ini, siapa sebenarnya yang menang? Apakah benar suatu bangsa telah merdeka jika kemerdekaannya dibangun di atas reruntuhan bangsa lain? Dan apakah suatu bangsa bisa disebut berdaulat jika hak hidupnya digantung oleh simpati dunia yang berubah-ubah?

Cermin sejarah mengajarkan bahwa luka yang tidak disembuhkan akan diwariskan. Anak-anak Yahudi tumbuh dengan trauma Holocaust, anak-anak Palestina tumbuh dengan trauma pengusiran dan penghancuran. Tanpa upaya rekonsiliasi yang jujur, luka-luka ini akan terus beranak-pinak dalam bentuk kekerasan baru, fanatisme baru, dan kebencian yang makin mengeras.

Namun, sebagaimana cermin tidak hanya memantulkan wajah, tetapi juga memungkinkan kita merapikan diri, maka sejarah pun bisa menjadi alat refleksi untuk memperbaiki masa depan. Kita tidak bisa mengubah apa yang telah terjadi, tetapi kita bisa memilih bagaimana meneruskannya.

Dalam dunia yang terus terbelah oleh kebencian dan identitas, keberanian moral menjadi hal langka. Kita membutuhkan lebih dari sekadar negosiasi politik atau tekanan diplomatik; kita membutuhkan keberanian untuk mengakui bahwa penderitaan tidak mengenal agama, dan bahwa kemanusiaan adalah bahasa universal yang bisa menghubungkan orang-orang dari kamp yang berbeda.

Cermin luka ini menuntut kita untuk menatap lebih dalam ke dalam jiwa sejarah: bukan untuk mencari siapa paling benar, tetapi untuk menyadari siapa yang paling kehilangan, dan bagaimana kita bisa mengembalikan yang hilang, tanpa menambah kehilangan baru.

Zionisme adalah pelajaran pahit bahwa nasionalisme tanpa keadilan akan berakhir pada dominasi. Palestina adalah pengingat bahwa identitas tanpa tempat hanya menyisakan kehampaan dan kehancuran. Dan kita, sebagai warga dunia, tak bisa terus berpura-pura netral ketika keadilan dicabik-cabik atas nama keamanan.

Maka biarlah cermin luka ini menjadi cermin diri—agar dalam bayangan penderitaan orang lain, kita melihat kewajiban kita untuk bersuara, untuk mengingat, dan untuk bertindak dengan nurani yang jernih.

Author : Ari Mustarinudin
17-06-2025 00:54 WAS