
Halal Bi Halal Ala JAPRI
Riyadh - Memang tidak lengkap. Hanya dihadiri oleh 10 anggota—jauh dari kuorum. Ketidakhadiran Pak Aji Teguh makin terasa, mengingat beliau adalah sosok yang paling teliti dalam urusan legalitas dan tata tertib organisasi. Saya sering diingatkan olehnya, “Jangan lupa, selesaikan draft AD/ART JAPRI.” Padahal, draft-nya sudah selesai, hanya saja sengaja saya diamkan… menunggu komando dari sang pemimpin tertinggi.
Tapi tulisan ini bukan untuk membahas AD/ART. Saya hanya ingin berbagi keseruan momen halal bi halal sambil menikmati makan malam spesial: liwet ala Pasundan, Jawa Barat. Hidangan ini disajikan oleh Restoran Citra Sari Bandung Lautan Api, yang terletak di kawasan Naseem, wilayah timur Riyadh.
Juru taktik pemesanan kursi dan menu liwet Pasundan adalah Teh Nda Amanda. Kalau sudah urusan konsumsi, memang dia ahlinya. Jangan ragukan kesungguhannya—beeuch, pokonamah very well treatment, well service!
Persiapan acara ini sebenarnya sudah dirancang beberapa hari sebelumnya, meski keputusannya baru final di menit-menit terakhir. Awalnya, ada beberapa opsi. Salah satunya adalah melaksanakan shalat Idul Adha di KBRI. Rencana konsumsi akan menggunakan skema kas organisasi ditambah iuran gotong-royong anggota. Namun, rencana ini batal karena KBRI tidak mengadakan shalat Idul Adha di tempat mereka. Mayoritas pejabat teras sedang bertugas ke luar kota, khususnya ke Mekkah, mendampingi Pak Duta Besar dalam misi pengawalan jamaah haji bersama Menteri Agama.
Opsi kedua adalah shalat Idul Adha di masjid kompleks masing-masing, lalu dilanjutkan dengan open house di tempat Cak Madas—seorang PMI yang juga pelaku UKM Sate Madura yang cukup kompetitif. Menurut testimoni Pak Erianto (Atase Hukum KBRI), “Sate Cak Madas memang enak, apalagi kalau gratis.” Hehe. Namun lagi-lagi, rencana ini batal, karena Cak Madas justru merekomendasikan agar acara diadakan di istirahatan saja, dengan kompensasi beliau yang akan menyuplai menu sate.
Akhirnya, opsi pamungkas datang dari usulan Teh Nina—Bendahara JAPRI dan senior PMI di Arab Saudi—yang mengusulkan agar acara digelar di Restoran Citra Sari Bandung. Restoran ini memang terkenal dengan menu masakannya yang lezat dan berkelas.
Alhamdulillah. Menu liwet Pasundan itu akhirnya tersaji juga. Lengkap. Warna-warni. Nasi liwet, nasi putih. Ada semur jengkol. Tumis kangkung. Karedok. Paru goreng. Mujair goreng. Ayam goreng. Tahu, tempe, dan sambal pedas yang tidak main-main. Kang Jenal sampai megap-megap. “Ah uh ah uh,” katanya, sambil terus nambah.
Tempatnya sederhana. Tapi hangat. Akrab. Ramai oleh cekikikan Uni Adheliya dan Teh Nda Amanda. Keluarga sekali. Ditambah lemparan jokes dari Kang Asep dan Mas Galih. Asli, ketawa nggak berhenti.
Di tengah-tengah itu, tiba-tiba muncul... diskusi. Tipis-tipis. Tentang program JAPRI ke depan. Termasuk AD/ART yang itu-itu lagi. Pak Tatang sudah siaga. Laptop terbuka. Lalu—seperti biasa—membuka dengan kuis. Menjebak.
Pertanyaannya: “Kenapa shalat Idul Fitri lebih ramai dari Idul Adha?”
Saya diam. Kang Jenal juga. Terpojok.
Yang jawab justru Bu Nina. Kalem. Singkat: “Karena Idul Adha itu lebih terasa pengorbanannya.”
Saya masih bingung. Tapi semua mengangguk. Sampai akhirnya terkuak—pertanyaan itu ternyata dari TikTok. Langsung meledak lagi tawa.
Tapi Kang Jenal tetap saja: “Ah uh ah uh…” pedasnya sambal belum reda. Tapi piringnya nambah terus. Katanya cuma dua kali. Padahal saya, Kang Asep, dan Mas Galih nambah sampai tiga kali. Liwetnya memang tidak bisa bohong. Maknyus.
Setelah itu, Pak Tatang mencoba menyampaikan agenda. Tapi ambyar. Belum sempat dua kalimat, Uni Adheliya sudah potong. Teh Nda nyamber. Gelak tawa pecah lagi. Tapi tetap, ada satu poin penting yang berhasil nyangkut: soal keuangan.
“Gunakan kas JAPRI dengan hati-hati,” kata Pak Tatang. “Harus tepat guna. Harus terasa manfaatnya.”
Dan usul pun muncul: beli perlengkapan podcast.
Saya setuju. Itu ide bagus.
Bagaimana dengan AD/ART? Sampai sekarang belum dibahas juga. Alasannya? Klasik. Sibuk. Semua punya urusan. Ada alasan lain? Ada. Mungkin dianggap penting-tidak penting. Kita ini pekerja migran—berorganisasi ya secukupnya saja. Tak perlu terlalu rigit. Modal saling percaya saja, cukup.
Lagian, ini Arab Saudi. Monarki absolut. Bikin organisasi? Tidak boleh. Titik. Ketahuan? Ditangkap. Lalu dideportasi. Tamat.
Tapi bukan berarti kita asal jalan. Yang penting tetap taktis, substantif, dan memberi manfaat. Organisasi bukan untuk gaya-gayaan. Tapi untuk menjembatani kebutuhan nyata PMI. Contohnya? Musaned. Platform baru dari pemerintah Saudi. Kita perlu bikin tutorialnya. Sosialisasikan ke teman-teman. Ajari cara transfer kafalah. Naqel. Semua lewat Musaned.
Banyak hal bisa dilakukan. Tapi... apakah AD/ART tidak dibutuhkan?
Justru sebaliknya. Sangat dibutuhkan.
Bukan untuk formalitas. Tapi sebagai alat belajar. Agar kita tahu cara tertib berorganisasi. Siapa berwenang apa. Apa hak dan tanggung jawab setiap orang. Supaya kita tidak hanya aktif. Tapi juga paham arah. Itu fungsi AD/ART. Dan justru di perantauan seperti inilah, belajar hal itu jadi lebih berarti.
Begitulah Halal bi Halal ala JAPRI: sederhana, hangat, penuh tawa, dan diam-diam tetap memantik makna. Makan liwet bisa jadi cuma alasan. Yang utama adalah temu, canda, dan rasa saling memiliki—di tanah asing yang kadang terasa asing betul.
Bahasan tentang AD/ART mungkin belum final. Tapi semangat untuk tumbuh bersama, sudah terasa nyata. Kita memang bukan organisasi besar, bukan pula kelompok yang formal. Tapi justru di ruang-ruang kecil seperti inilah, kita belajar arti kebersamaan, belajar tertib, belajar tanggung jawab.
Semoga liwet berikutnya tak hanya lebih pedas, tapi juga lebih solid. Dengan AD/ART yang akhirnya rampung. Dengan program kerja yang makin berdampak. Dan tentu, dengan tawa yang tetap lepas, seperti malam itu.
Karena JAPRI—sekecil apa pun—adalah rumah kedua bagi mereka yang tak pernah lelah merawat arti "Indonesia" di tanah rantau.
Author : Ari Mustarinudin
08-06-2025 01:24 WAS