... Ket: Tarhib Ramadhan 2025 Foto : (Japri)

Tarhib & Ramadan: Menyambut Bulan Suci dengan Persatuan dan Kesadaran Kolektif

Riyadh - Menjelang tibanya bulan Ramadan, suasana spiritual dan sosial di kalangan masyarakat Indonesia di Riyadh, Arab Saudi, mulai terasa hangat. Berbagai komunitas keagamaan, seperti Formatra dan Al Qowwam, serta paguyuban lainnya, ramai menggelar kegiatan "Tarhib" sebagai bentuk penyambutan terhadap bulan suci yang penuh berkah ini.

Tarhib, yang secara harfiah berarti "penyambutan", bukan sekadar ritual seremonial belaka.  Ia menjadi momen untuk memperkuat ikatan persaudaraan, berbagi informasi, dan membangun kesadaran kolektif di tengah kehidupan perantauan.

Bagi sebagian komunitas, Tarhib dimaknai sebagai ajang berkumpul secara guyub, berdialektika, dan berbagi pengetahuan terkait isu-isu aktual, seperti perubahan kebijakan ketenagakerjaan di Arab Saudi atau perlindungan pekerja migran di bawah naungan Kementerian Perlindungan.

Momentum ini juga dimanfaatkan untuk mempererat jaringan komunikasi antar-WNI, yang pada gilirannya memudahkan koordinasi dengan perwakilan Indonesia, seperti KBRI, dalam hal sosialisasi program, pelayanan, atau penanganan kasus-kasus yang melibatkan WNI.

Keberadaan simpul-simpul komunitas atau paguyuban ini menjadi sangat vital. Mereka yang terorganisir dalam sebuah kelompok, baik secara offline maupun melalui platform digital seperti grup WhatsApp, cenderung lebih mudah mengakses informasi dan bantuan ketika menghadapi situasi darurat.

Sebaliknya, WNI yang tidak terikat dalam paguyuban atau komunitas sering kali rentan terhadap berbagai risiko, termasuk keselamatan jiwa dan raga. Tanpa saluran komunikasi yang memadai, mereka seperti terisolasi dalam ketidakberdayaan.

Fenomena ini sering kali terlihat di linimasa media sosial, di mana kita menyaksikan potongan-potongan kisah pilu para pekerja rumah tangga (PRT) yang terjebak dalam situasi kekerasan fisik dan mental.

Tidak jarang, mereka terpaksa mengambil langkah nekat, seperti melompat dari jendela rumah majikan, hanya untuk menyelamatkan diri dari cengkeraman ketidaknyamanan kerja yang tak tertahankan.

Tindakan tersebut, meski berisiko tinggi dan berpotensi melumpuhkan, kerap menjadi satu-satunya jalan keluar bagi mereka yang minim akses informasi dan dukungan.

Di sinilah pentingnya membangun dan memperkuat jaringan komunitas di tanah rantau. Keberadaan paguyuban bukan hanya sekadar wadah berkumpul, tetapi juga menjadi simpul persatuan dan persaudaraan yang mampu memberikan perlindungan dan dukungan bagi sesama WNI.

Di tengah situasi negara yang kerap diwarnai oleh pragmatisme elit politik, yang sibuk berebut kekuasaan dan menaikkan daya tawar politik, rakyat—khususnya para pekerja migran—sering kali menjadi korban. Oleh karena itu, persatuan dan solidaritas antar-sesama WNI menjadi modal utama untuk menghadapi berbagai tantangan di perantauan.

Lalu, apa sebenarnya makna Tarhib ini, baik secara literal maupun historis? Bagi mereka yang mempelajari bahasa Arab, Tarhib berasal dari kata "rahhaba" yang berarti "menyambut dengan hangat".

Secara historis, tradisi ini telah lama menjadi bagian dari budaya masyarakat Muslim dalam menyambut bulan Ramadan, sebagai bentuk penghormatan terhadap waktu yang dianggap suci dan penuh berkah.

Tarhib juga mencerminkan semangat untuk mempersiapkan diri secara lahir dan batin dalam menjalani ibadah puasa, sekaligus memperkuat ikatan sosial di antara umat.

Dalam konteks perantauan, Tarhib tidak hanya menjadi momen spiritual, tetapi juga sarana untuk membangun kesadaran kolektif dan solidaritas. Ia mengingatkan kita bahwa di tengah keterasingan dan tantangan hidup di negeri orang, persatuan dan saling dukung adalah kunci untuk bertahan dan meraih kesejahteraan.

Sebab, di tanah rantau, kita tidak memiliki modal lain selain persaudaraan dan kebersamaan. Dan dalam semangat Tarhib inilah, kita menemukan kekuatan untuk terus berjalan, bersama-sama, menapaki jalan yang penuh tantangan namun juga penuh harapan.

</p><img src="https://japririyadh.com/assets/img/images/20250222_212558_32_1703fc785e.jpeg" class="card-img-top rounded" alt="Tarhib Ramadhan "> <small>Ket: Tarhib Ramadhan (Foto: Japri)</small><hr><p>

Ukhuwwah: Ta’aruf, Ta’awun dan dan Takaful .

Dalam acara Tarhib yang diselenggarakan oleh Al Qowwam, hadir beberapa pejabat KBRI yang memberikan warna tersendiri pada acara tersebut. Dr. Erianto Nazarlis, SH, MH, Atase Hukum, didapuk sebagai pemateri utama. Beliau hadir dengan segudang pengalaman dan wawasan yang langsung bersentuhan dengan persoalan pekerja migran Indonesia di Arab Saudi.

Selain itu, Drs. Mahendra, MA, yang baru saja menjabat sebagai Pensosbud menggantikan Pak Meugah Suriyan yang telah purna tugas awal Februari lalu, turut memberikan sambutan.

Hadir pula Pak Budhi Prihantoro, yang menggantikan posisi Pak Mahendra sebagai PF Konsuler 1. Kehadiran mereka menegaskan komitmen KBRI dalam mendukung dan melindungi WNI di tanah rantau.

Dalam paparannya, Pak Atkum—sapaan akrab Dr. Erianto—menyampaikan satu hal penting yang menjadi inti dari kehidupan bermasyarakat di perantauan: Ukhuwwah. Beliau menyitir pendapat Quraish Shihab yang mendefinisikan Ukhuwwah sebagai “kepedulian terhadap sesama”.

Namun, Ukhuwwah bukan sekadar konsep abstrak. Ia harus diwujudkan dalam tindakan nyata, terutama di tengah tantangan hidup sebagai pekerja migran.

Untuk itu, Pak Atkum menjelaskan tiga pilar utama yang harus dibangun: Ta’aruf, Ta’awun, dan Takaful.

Pertama, Ta’aruf, yang secara etimologis berarti “berkenalan”. Dalam konteks pekerja migran, Ta’aruf adalah langkah awal untuk saling mengenal sesama sebangsa dan setanah air.

Ini bukan sekadar basa-basi, melainkan upaya untuk membangun ikatan emosional dan solidaritas. Di tanah rantau, di mana kita jauh dari keluarga dan kampung halaman, saling mengenal dan mengikat diri dalam bingkai persatuan adalah sebuah keharusan. Tanpa Ta’aruf, kita akan terpecah-pecah, mudah diombang-ambingkan oleh tantangan hidup yang keras.

Kedua, Ta’awun, yang berasal dari kata , ?wana , yu'?winu, ta'?wunun yang berarti “bekerja sama”. Dalam konteks pekerja migran, Ta’awun harus dilakukan baik secara horizontal maupun vertikal. Secara horizontal, kita harus bisa bekerja sama antarindividu, antarkomunitas, atau antarpaguyuban. Ini akan membentuk jaringan yang kuat dan saling mendukung.

Namun, kerja sama horizontal saja tidak cukup. Kita juga perlu membangun kerja sama vertikal dengan pemerintah, baik melalui KBRI maupun instansi terkait lainnya. Dengan demikian, akan terbentuk sebuah konstruksi yang kokoh, seperti cakar ayam yang saling menguatkan satu sama lain.

Ketiga, Takaful, yang berasal dari kata kafala yang berarti “menjamin” atau “menanggung”. Takaful adalah bentuk masdar (kata benda abstrak) dari kata kerja tak?fala, yang berarti “saling menjamin” atau “saling bertanggung jawab”.

Dalam konteks pekerja migran, Takaful adalah sikap saling menjamin dan menanggung dalam hal keselamatan dan kenyamanan bekerja di tanah rantau. Ini adalah bentuk nyata dari kepedulian terhadap sesama, di mana kita tidak hanya memikirkan diri sendiri, tetapi juga siap membantu saudara sebangsa yang sedang dalam kesulitan.

Dr. Erianto, Atase Hukum yang selalu hadir ketika diundang, adalah sosok yang tidak pernah absen dalam menghadapi persoalan WNI di Arab Saudi. Beliau sebagai salah satu pejabat KBRI yang paling aktif berinteraksi langsung dengan masyarakat, bahkan ketika menghadapi kritik pedas sekalipun.

Tanpa tedeng aling-aling, beliau dengan tegas menjelaskan berbagai kasus yang melibatkan WNI/PMI di Arab Saudi, serta prinsip-prinsip penanganan kasus dan perlindungan WNI sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Prinsip perlindungan WNI di luar negeri, menurut Dr. Erianto, adalah: “Tangannya yang mencincang, bahunya yang memikul.” Artinya, KBRI tidak serta-merta membela WNI secara membabi-buta dengan prinsip “right or wrong is my people”.

Ada batasan yang harus dihormati, yaitu kedaulatan negara setempat. Ini adalah prinsip yang tegas namun realistis, mengingat KBRI harus bekerja dalam koridor hukum dan diplomasi internasional.

Dalam semangat Tarhib Ramadan ini, tiga pilar Ukhuwwah—Ta’aruf, Ta’awun, dan Takaful—menjadi fondasi yang harus kita pegang teguh. Kita yang merantau jauh dari tanah air, menghadapi kerasnya kehidupan di negeri orang, harus saling mengenal, bekerja sama, dan saling menjamin.

Hanya dengan begitu, kita bisa membangun kekuatan kolektif yang mampu menghadapi segala tantangan. Sebab, di tanah rantau, kita tidak punya modal lain selain persatuan dan kebersamaan.

Dan dalam semangat Ukhuwwah inilah, kita menemukan kekuatan untuk terus bertahan, saling mendukung, dan meraih kesejahteraan bersama. Semoga.


 


 


 

Author : Ari Mustarinudin
22-02-2025 21:34 WAS