... Ket: Foto: dok.JAPRI) Foto : (Japri)

TADARUS HUKUM: Cabut Moratorium PMI & Delusi Bangsa Besar

Riyadh - Gerimis turun pelan di jalanan kota. Dingin. Tapi sebungkus Bold isi 12 batang dan secangkir kopi hitam—tak pahit, tak manis—menghangatkan suasana buka puasa di malam ke-19 Ramadhan. Bersama Kang Indra. Sederhana saja. Kurma tiga biji, sepotong gista, dan secangkir gahwa. Alhamdulillah.

12 batang rokok ludes dalam obrolan santai selepas buka. Seperti biasa, Kang Indra tak kehabisan cerita. Isu sosial, politik, hukum—apa saja yang sedang ramai di media sosial, dia tahu.

Mungkin karena dulunya dia kuliah di Universitas Langlangbuana (UNLA) Bandung. Ilmu Sosial dan Politik. Tapi tak sampai lulus. Semester tiga, berhenti. Masalah klasik. Biaya. Tapi kecintaannya pada politik tak pernah surut.

Bagi Kang Indra, rokok adalah gizi. Memberi energi, membuatnya semangat berdiskusi. Katanya, rokok bisa merangsang pikiran kreatif dan kritis. Jangan coba-coba mendebat perokok soal ini. Percuma. Deadlock. Hehe.

Ini bermula dari gonjang-ganjing pencabutan moratorium pengiriman PMI, dengan Arab Saudi sebagai pilot project. Konon, langkah ini diambil untuk menguji apakah sistem penempatan dan perlindungan PMI benar-benar telah mengalami perbaikan.

Masalahnya, belum ada kajian jelas. Yang pasti, data menunjukkan ada 4,5 juta PMI legal di luar negeri. Tapi menurut Bank Dunia, jumlah PMI ilegal juga 4,5 juta. Artinya? Total PMI kita di luar negeri bukan 4,5 juta. Tapi 9 juta orang!

Pemerintah katanya serius membenahi sistem penempatan dan perlindungan PMI. Tapi bagaimana dengan mereka yang berangkat lewat jalur non-prosedural? Masih tanda tanya besar.

Regulasi atau Law Enforcement?

Apa urgensinya mencabut moratorium, sementara regulasi masih sama? Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 dan UU Cipta Kerja No. 11 Tahun 2020 masih jadi acuan. Sejak moratorium diberlakukan tahun 2015, regulasi PMI sudah tujuh kali berubah. Digitalisasi diterapkan. Syarat bagi perusahaan penempatan diperketat.

Jadi, mungkin bukan regulasi yang bermasalah. Tapi law enforcement.

Apalagi tahun ini ada lima peraturan menteri yang mengatur soal ini. Ditambah lagi, status BP2MI kini naik kelas jadi Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (KP2MI) lewat Perpres No. 165 Tahun 2024. Perubahan struktural besar-besaran.

Tapi, apakah perubahan itu benar-benar menjamin perlindungan PMI?

Tidak hanya itu, perubahan ketiga atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 telah melalui proses revisi. Dalam rapat Baleg DPR RI tanggal 17 Maret 2025, telah diambil keputusan atas hasil Penyusunan RUU tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 18 Tahun 2017. Ada 29 materi perubahan yang disepakati dalam rapat Panja, di antaranya:

  1. Penyesuaian konsideran menimbang dan mengingat sesuai perkembangan hukum.
  2. Perubahan ketentuan umum Pasal 1.
  3. Perubahan Pasal 4 tentang kategori PMI.
  4. Perubahan Pasal 5 tentang persyaratan Calon PMI.
  5. Perubahan Pasal 6 tentang hak dan kewajiban PMI dan keluarganya.
  6. Perubahan Pasal 8 tentang pelindungan sebelum bekerja.
  7. Perubahan Pasal 10 tentang tugas atase ketenagakerjaan.
  8. Perubahan Pasal 11 tentang distribusi informasi oleh pemerintah.
  9. Penambahan Pasal 11A tentang kewajiban distribusi informasi oleh P3MI.
  10. Perubahan Pasal 12 tentang mekanisme penempatan sebelum bekerja.
  11. Perubahan Pasal 13 tentang kelengkapan dokumen penempatan.
  12. Perubahan Pasal 15 dan 17 serta penambahan Pasal 18A tentang hubungan kerja dan perjanjian kerja.
  13. Perubahan Pasal 21 dan 22 tentang pelindungan selama bekerja.
  14. Penambahan Pasal 22A tentang pembentukan kantor layanan PMI di negara tertentu.
  15. Perubahan Pasal 25 tentang kewajiban P3MI melaporkan kepulangan PMI.
  16. Perubahan Pasal 30 tentang pembiayaan penempatan.
  17. Perubahan Pasal 32 hingga 36 tentang kewajiban pemerintah melindungi PMI.
  18. Perubahan Pasal 37 tentang sanksi administratif.
  19. Perubahan Pasal 38 hingga 44 serta penambahan Pasal 41A tentang tugas pemerintah pusat dan daerah.
  20. Perubahan Pasal 45 tentang tugas dan wewenang Menteri.
  21. Penghapusan Pasal 46, 47, dan 48.
  22. Perubahan Pasal 49 hingga 55 tentang pelaksana penempatan PMI.
  23. Penambahan Pasal 64A tentang larangan bagi individu menawarkan peluang kerja luar negeri.
  24. Perubahan Pasal 77 dan 78 tentang penyelesaian perselisihan dan penyidikan.
  25. Penambahan Pasal 78A tentang ancaman pidana.
  26. Penambahan Pasal 87A dan 87B tentang partisipasi masyarakat.
  27. Penambahan Pasal 88A tentang pengampunan bagi PMI non-prosedural yang melapor dalam setahun setelah UU ini diundangkan.
  28. Penambahan ketentuan pemantauan dan peninjauan undang-undang.
  29. Penambahan ketentuan mengenai tugas pemantauan dan peninjauan UU.

Laporan Panja atas hasil penyusunan RUU Nomor 18 Tahun 2017 ini resmi diumumkan dan telah disepakati oleh semua fraksi yang hadir sebagai RUU usul inisiatif DPR RI untuk dilanjutkan ke tahap berikutnya. Namun, sejak itu, draft RUU ini belum dapat diakses secara terbuka oleh publik.

Meski DPR RI mengklaim telah menyelenggarakan RDPU dengan berbagai ormas pegiat PMI, seperti JBM, KSBSI, SBMI, serta akademisi dan asosiasi P3MI, pertanyaan besar tetap muncul: apakah perubahan ini benar-benar akan meningkatkan perlindungan dan kesejahteraan PMI? Ataukah akar permasalahannya justru ada pada implementasi regulasi yang masih lemah?

Wallahu a’lam. Yang jelas, masih banyak pertanyaan. Masih banyak keraguan. Jaringan Buruh Migran (JBM), Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), dan banyak pegiat PMI lainnya masih bertanya-tanya: apakah ini solusi, atau sekadar ilusi?

Dalam banyak kasus yang menimpa PMI, bukan perubahan undang-undang yang menjadi solusi utama, melainkan penguatan pengawasan dan implementasi kebijakan di lapangan. Contohnya, mandat Pasal 38 hingga Pasal 42 tentang tugas dan tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah.

Khususnya Pasal 42, yang menekankan peran strategis desa dalam mendukung perlindungan PMI dari pra-penempatan hingga pascapulang. Namun, hanya beberapa desa dari 83.458-unit pemerintahan tingkat desa/kelurahan yang benar-benar peduli terhadap pencegahan perekrutan ilegal PMI. 

Beberapa daerah seperti Blitar, Ponorogo, Malang, Wonogiri, Gunungkidul, serta Lombok Timur telah mengambil inisiatif membentuk kelompok kerja PMI tingkat desa, meskipun tidak secara eksplisit diatur dalam undang-undang.

Itu pencegahan di hulu yang lemah yang mestinya menjadi perioritas . Tanpa adanya pengawasan yang ketat, regulasi secanggih apa pun hanya akan menjadi teks di atas kertas tanpa dampak nyata bagi PMI. Pemerintah harus memastikan bahwa kebijakan yang telah dibuat benar-benar dijalankan dengan baik dan dapat memberikan perlindungan optimal bagi PMI di setiap tahap—sebelum, selama, dan setelah bekerja di luar negeri. 

Inisiatif DPR untuk melakukan perubahan ketiga atas Undang-Undang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI) tentu patut diapresiasi. Namun, apresiasi tersebut harus disertai dengan catatan kritis: perubahan ini tidak boleh sekadar menjadi rutinitas legislasi tanpa memahami akar permasalahan yang sebenarnya. Jangan sampai revisi ini justru menimbulkan kesan bahwa perubahan peraturan hanya dijadikan solusi instan untuk menutupi ketidakmampuan penyelenggara dalam mengeksekusi mandat yang sudah ada. 

Sebab, jika masalah utama terletak pada implementasi kebijakan dan bukan pada substansi undang-undangnya, maka perubahan regulasi justru bisa menjadi langkah yang kurang efektif dan hanya mengulang pola yang sama tanpa perbaikan nyata. Oleh karena itu, sebelum melakukan revisi, penting bagi DPR untuk memastikan bahwa perubahan yang dilakukan benar-benar berorientasi pada penyelesaian masalah di lapangan, bukan sekadar formalitas atau justifikasi atas kegagalan dalam pelaksanaan regulasi yang ada. 

Demikianlah, sekilas obrolan saya dengan Kang Indra yang, seperti biasa, berujung pada pertanyaan sinis tapi masuk akal.

"Kenapa moratorium pengiriman PMI dicabut sih?" sergah Kang Indra, nada suaranya jelas menunjukkan ketidakpuasan. "Padahal saya kira, dengan presiden baru yang seorang jenderal, kebijakan ini justru bakal diperketat. Wong, beliau lebih mengedepankan martabat bangsa! Gak bakal lagi kita mengandalkan tenaga kerja migran sebagai penyumbang devisa. Tapi ini kok malah mundur?!"

Saya hanya tersenyum. Bukan karena saya punya jawaban, tapi justru karena saya tidak punya.

"Entahlah, Kang," sahut saya ringan.

Kami terdiam sejenak. Angin malam berembus pelan. Kopi di cangkir tinggal separuh, tapi obrolan masih terasa hangat.

Kang Indra menghela napas. "Kita ini, ya," katanya pelan, "Generasi PMI. Dan mungkin juga akan melahirkan generasi PMI berikutnya. Entah sampai kapan. Padahal katanya kita ini bangsa besar, bangsa kaya."

Saya menatap langit sekitar kamar. Kusam hitam. Negeri ini tetap kaya. Tapi mungkin kita belum benar-benar tahu caranya menjadi bangsa besar.

 

Author : Ari Mustarinudin
04-04-2025 00:12 WAS