
Serial Pulang Kampoeng (Part 5) : Buku untuk Generasi Estafet
Riyadh - Hari ini saya menerima pesan WhatsApp dari asisten Mr. Boss:
“Assalamu alaikum Sir Ari, when will you be back to Saudi?”
Padahal dia tahu betul kapan tiket balik saya. Lagi pula, meskipun sedang di Indonesia, saya tetap melayani beberapa tugas tertentu secara remote. Jadi sebenarnya tidak ada bedanya apakah saya hadir secara fisik atau bekerja jarak jauh. Tapi saya paham, ini kode keras dari beliau: “Segera balik.”
Masalahnya, agenda “Serial Pulang Kampoeng” masih panjang. Hehe.
Saya belum sempat pulang ke kampung kelahiran di Lombok, belum berkunjung ke Situs Kerajaan Selaparang, belum sowan ke Pondok Pesantren Nurul Hakim Kediri—yang sebagai alumni, rasanya tidak sopan kalau tidak berziarah ke Tuan Guru. Belum juga ke Mandalika, apalagi naik Gunung Rinjani. Padahal ada rencana bertemu tokoh rescue yang sedang viral, “Agam Rinjani.”
Dan tentu saja, ada satu agenda besar yang sangat saya nantikan: sebagai penggemar berat Dewa 19, tanggal 6 nanti ada Konser Agung di GBK—Dewa 19 & All Star of World Band. Konser rock terbesar tahun ini di Indonesia. Dewa 19 akan berbagi panggung dengan Eric Martin & Billy Sheehan (Mr. Big), Nuno Bettencourt & Gary Cherone (Extreme), Dino Jelusick, Derek Sherinian, Ron “Bumblefoot” Thal, Ari Lasso, Virzha, dan Ello.
Sayangnya, sebagian besar rencana itu gagal total. Tak mengapa. Ada harga yang harus dibayar untuk loyalitas. Saya harus kembali lebih cepat dari jadwal.
Namun ada satu hal yang tidak boleh gagal dalam kondisi apa pun: buku.
Maka sebelum kembali, saya menyempatkan diri singgah ke Gramedia favorit di Citra Raya, Cikupa, Tangerang. Saya memilih beberapa buku best seller, termasuk yang kontroversial. Di antaranya:
1. Madilog – Tan Malaka
2. Sapiens: Riwayat Singkat Umat Manusia – Yuval Noah Harari
3. Sapiens: Pilar-Pilar Peradaban – Yuval Noah Harari
4. Homo Deus: Masa Depan Umat Manusia – Yuval Noah Harari
5. The Selfish Gene – Richard Dawkins
6. Upheaval: Di Balik Bangsa-Bangsa Usai Menghadapi Krisis – Jared Diamond
7. Sejarah Dunia Kuno – Susan Wise Bauer
8. Sejarah Dunia Abad Pertengahan – Susan Wise Bauer
Sekilas, mungkin ada yang berpikir: buat apa pekerja migran beli buku? Bukankah hanya membuang uang? Benar juga, sebagian orang akan bilang sebaiknya fokus bekerja saja. Apalagi di usia kepala empat, karier biasanya sudah mentok. Saatnya menabung modal, membangun bisnis, dan bersiap menikmati masa pensiun. Membeli buku bukanlah keputusan strategis—masih banyak hal yang lebih mendesak.
Pikiran itu sah-sah saja. Tapi menurut saya, keduanya bisa berjalan seiring. Menabung modal usaha dan berinvestasi pada ilmu pengetahuan. Buku bukan hanya untuk diri saya, tapi juga sebagai legacy—membangun iklim cinta membaca di rumah, menciptakan perpustakaan keluarga, dan menanamkan budaya literasi pada anak-anak.
Saya percaya, tidak ada bangsa yang maju tanpa literasi yang kuat. Sekolah dan kuliah hanya memberi kerangka awal berpikir. Sisanya harus dicari sendiri—dari buku, diskusi, organisasi, atau terjun langsung ke masyarakat. David Harvey pernah bilang : “Ruang kuliah hanya memberimu 10% pengetahuan, 90% sisanya harus kau cari di luar.”
Ket: Gramedia, Tangerang, Citra Raya— Dokumentasi pribadi, 27 Agustus (Foto: Japri)
Nah, di sinilah saya mulai merenung. Terus terang, saya turut merasa sedih melihat kondisi pendidikan kita. Berdasarkan berbagai indikator global, termasuk skor PISA OECD, posisi Indonesia masih jauh di bawah rata-rata.
Lihat saja data PISA 2022. Secara global, skor rata-rata membaca adalah 476, matematika 472, dan sains 485. Indonesia? Kita hanya mencatat 359 untuk membaca, 366 untuk matematika, dan 383 untuk sains. Artinya, kita tertinggal lebih dari 100 poin dibanding rata-rata dunia.
Bandingkan dengan tetangga kita di ASEAN: Singapura duduk di peringkat pertama dunia dengan skor membaca 543, matematika 575, dan sains 561. Malaysia ada di 388 (membaca), 409 (matematika), 416 (sains). Thailand 379, 394, dan 409. Bahkan Vietnam, yang ekonominya masih di bawah kita, bisa mencatat skor 462, 444, dan 444.
Lebih miris lagi, rata-rata IQ orang Indonesia hanya 78. Angka itu menempatkan kita jauh di bawah banyak negara lain di kawasan. Jangan buru-buru tersinggung. Ini bukan soal kecerdasan bawaan. Sebagian besar ahli sepakat, IQ sangat dipengaruhi gizi, stimulasi sejak kecil, dan tentu saja budaya membaca.
Nah, di sinilah masalah kita. Kalau anak-anak lebih sering digoda layar ketimbang halaman buku, kalau sekolah masih terjebak pada hafalan alih-alih menumbuhkan rasa ingin tahu, jangan heran kalau daya saing bangsa ini ikut tergerus. Kita bisa punya ekonomi besar, bisa bicara tentang hilirisasi dan investasi, tapi tanpa kualitas manusia yang memadai, semua itu hanya angka tanpa makna.
Maka pertanyaannya sederhana tapi mendasar: maukah kita mengubah budaya membaca menjadi kebutuhan sehari-hari, bukan sekadar slogan? Karena di era di mana data bisa diunduh kapan saja, keunggulan sesungguhnya ada pada mereka yang bisa berpikir kritis, bukan hanya menghafal. Dan untuk itu, tak ada jalan pintas selain membaca.
Saya sering membayangkan, membaca itu mirip konser. Ada suara gitar, drum, vokal—semua berbeda tapi berpadu menciptakan harmoni. Begitu juga dengan buku. Setiap halaman memberi nada, setiap penulis memberi warna, dan kalau kita rajin membacanya, lama-lama akan lahir simfoni pengetahuan dalam kepala kita.
Mungkin saya gagal menuntaskan agenda pulang kampung, gagal menonton konser akbar Dewa 19 di GBK. Tapi setidaknya saya pulang dengan koper yang lebih berat—bukan karena oleh-oleh, melainkan karena buku. Dan bagi saya, itu jauh lebih penting.
Pada akhirnya, ekonomi mengajarkan kita tentang pilihan: mana yang kita korbankan, mana yang kita dahulukan. Saya memilih untuk tidak mengorbankan buku. Karena sekali lagi, masa depan bukan hanya soal uang yang kita simpan di bank, tapi juga tentang pengetahuan yang kita tanam di kepala dan hati generasi kita.
Semoga suatu saat bangsa ini bisa benar-benar menjadi best seller—bukan di rak toko buku, tapi di panggung dunia.
Ket: Gramedia, Tangerang, Citra Raya— Dokumentasi pribadi, 27 Agustus (Foto: Japri)
Author : Ari Mustarinudin
28-08-2025 16:22 WAS