
Serial Pulang Kampoeng (Part 3) : Borobudur, Prambanan, Yogyakarta
Riyadh - Kadang, dalam sebuah perjalanan, yang membuat kita bingung bukanlah jaraknya, melainkan pilihan arahnya. Begitu juga saat saya mencoba menentukan tujuan berikutnya dalam rangkaian pulang kampoeng tahun ini. Ada dua opsi besar yang sama-sama menggoda. Pertama, berziarah ke reruntuhan Kesultanan Hasanudin di Banten. Kedua, menapaki jejak peradaban di Borobudur dan Prambanan. Keduanya penting, sama-sama berharga, tetapi waktu selalu punya batas. Jika tidak diputuskan sekarang, bisa jadi kesempatan itu akan hilang.
Seorang kawan aktivis PMI di Dammam, Abu Fakhri, bahkan sempat menyarankan agar saya singgah ke Lapas Sukamiskin di Bandung. Penjara tua itu kini berstatus cagar budaya. Di balik tembok dinginnya, Bung Karno pernah merasakan kurungan. Sukamiskin bukan sekadar bangunan, ia adalah saksi bisu perjalanan bangsa menuju kemerdekaan.
Namun akhirnya, pilihan saya jatuh untuk “melompat” lebih jauh—ke abad ke-7 hingga ke-9—masa ketika raja-raja Nusantara membangun peradaban besar yang jejaknya masih bisa kita saksikan hingga kini. Perjalanan pun berlabuh ke Borobudur, Prambanan, Ratu Boko, hingga Keraton Yogyakarta.
Kali ini, perjalanan memang cukup jauh: sekitar 596-kilometer dari Tangerang, Banten, menuju Jawa Tengah. Waktu tempuhnya mencapai sekitar sembilan jam—kurang lebih setara dengan jarak Riyadh ke Jeddah di Arab Saudi. Kami menempuhnya dengan mobil Calya Astra Toyota, dan seperti biasa, yang memegang kemudi adalah ipar saya, Mimi Payumi, seorang Store Manager di PT Miniso Jakarta. Bagi Mimi, ini menjadi pengalaman pertamanya menempuh perjalanan darat sejauh ini.
Capek? Tidak terasa. Karena perjalanan panjang jadi ringan kalau ditemani orang yang pas. Istri dan anak tercinta duduk di belakang. Saya di samping sopir. Ipar saya itu.
Sepanjang jalan kami ngobrol. Dari soal pekerjaan, sejarah bangsa, sampai politik hukum negeri ini.
Saya sendiri lebih suka menghindari topik politik di saat liburan. Terlalu banyak kasus hukum dan skandal pejabat yang membuat kepala panas. Bagi saya, perjalanan ini lebih bermakna jika dipakai untuk merenungkan sejarah peradaban sambil menikmati bentangan alam Nusantara. Jalan tol Cikopo–Palimanan sepanjang 112 km, lalu berlanjut 235 km ke Cirebon, Brebes, Tegal, Pemalang, Pekalongan, hingga Semarang, menyajikan pemandangan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Kekayaan dan keindahan alam Indonesia begitu terasa nyata
Namun, Mimi rupanya tak tahan untuk tidak menyinggung kasus terbaru di Kemenaker.
"Bagaimana kasus di Kemenaker itu?” tanyanya.
Saya pun menanggapi seperlunya:
“Mi, Kementerian Tenaga Kerja adalah salah satu yang paling bermasalah. Kasus OTT Noel (Wamenaker) bukan yang pertama. Sebelumnya sudah ada skandal pemerasan dalam pengurusan RPTKA, melibatkan jajaran direktur hingga staf. Ini bukan sekadar masalah individu, melainkan persoalan struktural.”
Mimi rupanya tidak berhenti di situ. Ia terus mengomentari mental pejabat-pejabat kita yang korup. Baginya, elit kita—baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif—adalah produk dari sistem yang sejak awal sudah cacat, lahir dari proses yang korup. Saya tersenyum mendengarnya. Ternyata ipar saya bukan hanya pembaca serius, tetapi juga punya literasi politik yang baik. Saya memilih menjadi pendengar yang baik. Sesekali saya hanya menimpali:
“Watak elit itu sama saja. Ketika ada celah dan kesempatan untuk korupsi—mengambil yang bukan haknya—mereka akan melakukannya. Latar belakang agama, bahkan tingkat makrifat sekalipun, tidak banyak berpengaruh.”
Saya lalu menyinggung kasus korupsi di Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan. “Bayangkan, Mi. Kementerian Agama itu seharusnya menjadi sumber moralitas bangsa. Jika di sana saja praktik korupsi merajalela, bagaimana dengan kementerian yang lain?”
Saya jadi teringat dialog seorang profesor ekonomi di televisi—meski saya lupa di stasiun mana. Ia menyebut korupsi di Indonesia sebagai sebuah low-level equilibrium trap. Semua orang tahu itu salah, semua orang membencinya, tetapi pada saat yang sama banyak yang tetap melakukannya karena sistem justru memberi insentif untuk itu. Ironisnya, jika ada yang tidak ikut arus, ia sering dianggap naif atau bahkan bodoh. Dari sinilah lahir adagium sinis yang kerap terdengar: “yang penting pintar-pintar saja, jangan sampai ketahuan.”
Mimi mengangguk, lalu menambahkan: “Nah, masalahnya, masyarakat kita pun sudah terbiasa. Ada yang merasa korupsi itu bagian dari ongkos politik. Ada juga yang merasa selama ada pembangunan, ya korupsinya dimaafkan.”
Saya diam sejenak. Dalam hati saya tahu, inilah paradoks besar bangsa kita. Kita menuntut negara bebas dari korupsi, tapi kita sendiri kadang ikut melanggengkan budaya itu—entah lewat suap kecil, pungli, atau mencari jalan pintas.
Lalu saya berkata pelan: “Sebenarnya, Mi, korupsi itu bukan hanya soal moral. Ini juga soal institusi. Selama sistemnya memungkinkan, siapapun yang masuk akan tergoda. Itu sebabnya, pembenahan harus dimulai dari struktur, bukan hanya individu.”
Mimi menatap saya, lalu bertanya: “Kalau begitu, bagaimana caranya mengubah sistem?”
Saya menarik napas, mencoba merumuskan. “Institusi, Mi. Itu kuncinya. Kalau insentif yang dibangun institusi membuat korupsi mahal risikonya, orang akan berpikir dua kali. Makanya, dulu KPK sempat efektif. Karena ada rasa takut. Tapi begitu kewenangan KPK dilemahkan, ya efek jera itu hilang.”
Saya melanjutkan, “Birokrasi juga begitu. Kalau aturan dibuat tumpang tindih, ruang abu-abu selalu terbuka, dan pejabat bisa ‘bermain’. Reformasi birokrasi seharusnya menyederhanakan proses, membuat layanan lebih transparan, dan menutup ruang negosiasi informal. Karena pada akhirnya, yang paling rawan dikorupsi adalah celah dalam aturan.”
Mimi manggut-manggut, lalu menyahut: “Jadi sebenarnya checks and balances juga penting, ya? Kalau semua kekuasaan terkonsentrasi di satu tangan, peluang korupsinya makin besar.”
Saya tersenyum. “Betul. Desain institusi itu harus memastikan ada pengawasan silang. Jangan sampai semua lembaga hanya menjadi stempel. Demokrasi tanpa checks and balances hanyalah prosedur. Demokrasi yang sehat butuh akuntabilitas.”
Saya lalu menambahkan:
“Implikasinya bukan cuma soal ekonomi, Mi. Politik dan sosial juga kena dampak besar. Ketika korupsi dibiarkan, masyarakat kehilangan kepercayaan pada institusi negara. Rakyat jadi sinis, apatis, bahkan bisa memilih jalan pintas: tidak percaya hukum, tapi percaya pada figur kuat atau populis yang menjanjikan solusi instan.”
Mimi mengangkat alis. “Maksudnya kayak orang mencari penyelamat tunggal?”
Saya mengangguk. “Iya. Itu berbahaya. Karena ketika orang menaruh harapan pada figur, bukan pada sistem, kita masuk ke jebakan personalisasi politik. Negara jadi bergantung pada siapa yang memimpin, bukan pada institusi yang kuat. Padahal, pemimpin bisa berganti. Institusi seharusnya bertahan.”
Saya berhenti sebentar, lalu menambahkan:
“Dan jangan lupa, korupsi yang sistemik juga melahirkan ketimpangan sosial. Orang yang punya akses dan uang bisa ‘membeli keadilan’. Sementara yang miskin terjebak dalam birokrasi yang mahal. Akhirnya, keadilan tidak lagi dirasakan sebagai hak, tapi sebagai barang mewah. Dan kalau dibiarkan, ini bisa memicu erosi kohesi sosial.”
Mimi terdiam sejenak, lalu berbisik, “Jadi sebenarnya korupsi itu bukan sekadar soal uang negara yang hilang, ya?”
Saya tersenyum tipis. “Tepat sekali, Mi. Korupsi itu soal rusaknya fondasi kepercayaan. Dan begitu kepercayaan hilang, membangunnya kembali butuh waktu yang lama—bahkan bisa lintas generasi.”
Mimi tidak berhenti di situ. Ia menyinggung bahwa korupsi di negeri ini bukan sekadar soal perilaku individu, melainkan soal struktur. “Kalau sistemnya memberi ruang, orang akan tergoda. Kalau tidak ada checks and balances, jangan berharap ada integritas yang konsisten,” begitu katanya. Saya mengangguk pelan.
Pernyataan itu membuat saya teringat pada teori klasik Douglas North tentang institusi. North bilang, institutions matter. Institusi yang lemah hanya akan melahirkan perilaku oportunistik. Artinya, korupsi bukan semata-mata karena moralitas individu yang rapuh, tetapi karena sistem yang membiarkan. Maka, jangan heran jika pejabat yang secara pribadi religius tetap saja bisa tergoda.
Contoh: kementerian yang seharusnya menjadi benteng moral, justru sering kali terseret kasus. Kementerian Agama, misalnya, yang notabene diharapkan menjadi mercusuar nilai. Atau Kementerian Pendidikan, tempat kita menaruh harapan pada generasi muda. Kalau benteng moral saja bisa runtuh, bagaimana dengan kementerian lain?
Mimi menatap saya serius. “Itulah masalahnya,” ujarnya. “Di negeri ini, kita sering lebih sibuk mengurus simbol ketimbang substansi. Kita mendirikan lembaga antikorupsi, membuat undang-undang, menggelar seminar. Tapi pada praktiknya, loopholes dibiarkan. Itu yang membuat publik frustrasi.”
Saya hanya bisa diam sejenak. Sebab, apa yang dikatakan Mimi memang sulit dibantah. Kita sedang berhadapan dengan sebuah lingkaran setan: sistem yang korup melahirkan elite yang korup, dan elite yang korup kemudian melanggengkan sistem yang korup.
Di titik ini, saya teringat ucapan lama seorang profesor hukum tata negara: korupsi itu ibarat air, ia selalu mencari celah terkecil untuk mengalir. Regulasi ketat pun tak banyak membantu jika penegak hukumnya justru ikut bermain. Kita bisa buat undang-undang anti-korupsi setebal kitab suci, tetapi kalau penegak hukumnya kompromistis, ia tak lebih Dari sekadar tumpukan kertas.
Mimi mendengarkan, lalu menambahkan dengan nada getir: kita ini negara yang punya banyak lembaga pengawas, tapi hampir semua lembaga itu justru masuk berita karena kasus korupsi. Bayangkan, lembaga yang dibentuk untuk mengawasi, justru diawasi karena perilaku korupnya. Itu ironi terbesar yang kita hadapi.
Saya teringat sebuah obrolan ringan dengan seorang teman PMI yang cukup intelektual. Ia mengatakan, dalam sistem yang korup, biaya transaksi menjadi sangat mahal. Setiap izin, setiap proyek, bahkan setiap kebijakan, seakan harus dihitung dengan “premi korupsi”. Pada akhirnya, siapa yang menanggung beban itu? Tentu masyarakat. Harga barang melambung, kualitas infrastruktur menurun, dan peluang ekonomi pun semakin sempit.
Sementara itu, korupsi tidak hanya menggerogoti keuangan negara. Ia juga mengikis sesuatu yang lebih mendasar: kepercayaan. Ketika masyarakat tak lagi percaya pada institusi, pada hukum, pada keadilan—maka kontrak sosial runtuh. Negara bisa bubar bukan karena kalah perang, tapi karena hilangnya trust.
Saya terdiam, lalu teringat kalimat lama yang sering saya dengar: “Negeri ini tak pernah kekurangan orang pintar, yang kurang itu orang jujur.” Rasanya, kalimat itu makin relevan hari ini. Korupsi di negeri ini sudah seperti penyakit kronis: ia bukan lagi sekadar perilaku individu, melainkan bagian dari kultur, bahkan institusi. Dari level desa sampai pusat, dari pejabat kecil hingga pejabat tinggi, seakan ada “aturan tak tertulis” yang membolehkan mengambil sedikit jatah.
Ironisnya, masyarakat kita pun seolah sudah terbiasa dengan itu. Ketika ada kasus korupsi yang dibongkar, reaksi pertama banyak orang bukanlah marah, tapi heran kenapa bisa ketahuan. Kita seolah sudah berdamai dengan kebusukan itu. Seakan-akan sistem ini tak bisa diperbaiki. Padahal, di negara-negara lain, reformasi justru dimulai dari kasus-kasus seperti ini—kasus yang membuka mata publik, mengguncang legitimasi, lalu memaksa perubahan.
Saya dan Mimi sama-sama terdiam sebentar. Lalu saya menimpali, “Mi, sebenarnya yang kita hadapi ini bukan sekadar soal pejabat yang korup. Ini soal mental kolektif. Soal bagaimana kita, sebagai bangsa, memberi toleransi pada praktik yang seharusnya kita lawan habis-habisan.”
Mimi mengangguk, lalu menambahkan: “Kalau begitu, artinya kita sedang menghadapi dua musuh. Pertama, sistem yang korup. Kedua, mentalitas masyarakat yang permisif terhadap korupsi.”
Dan di situ, saya merasa benar-benar bungkam.
Mimi lalu menghela napas panjang. “Dan masalahnya bukan sekadar korupsi uang saja, Kang. Lebih parah lagi ketika korupsi itu masuk ke dalam sistem berpikir. Kalau uang hilang, masih bisa dihitung. Tapi kalau akal sehat hilang, yang rusak adalah generasi. Misalnya, ketika kurikulum pendidikan ditentukan bukan untuk mencerdaskan, melainkan untuk melayani kepentingan politik. Atau ketika proyek infrastruktur yang mestinya untuk rakyat, justru dibikin sekadar ajang bagi-bagi jatah.”
Saya terdiam mendengarnya. Sesekali menyesap kopi, tapi rasanya pahitnya kalah jauh dibanding kata-kata Mimi. Ia melanjutkan dengan semangat yang tak terbendung. “Bayangkan, Kang, negara ini sudah merdeka 80 tahun, tapi setiap rezim hanya mewariskan lingkaran setan yang sama. Elit diganti, wajah berganti, jargon diperbarui, tapi penyakitnya tetap: serakah, rakus, dan tidak pernah cukup.”
Saya menimpali pelan, “Jadi seperti apa jalan keluarnya, Mi? Apa kita harus pasrah begitu saja?”
Mimi menggeleng mantap. “Tidak, Kang. Pasrah itu sama saja menyerahkan masa depan. Kita harus kritis, minimal mulai dari diri kita sendiri, dari keluarga, dari lingkar kecil. Kalau rakyat berhenti kritis, elit akan makin merasa berkuasa tanpa batas. Dan kalau kita berhenti percaya bahwa perubahan mungkin, saat itulah mereka benar-benar menang.”
Ket: Candi Borobudur, Magelang — Dokumentasi pribadi, 23 Agustus 2025 (Foto: Japri)
Tiba di Borobudur
Wah, tak terasa obrolan kami sudah melantur begitu jauh, sementara Borobudur kian mendekat. Membicarakan bobroknya negara sendiri rasanya tak akan habis dibahas, bahkan jika dituangkan dalam buku berjilid-jilid sekalipun. Dalam perjalanan ini, kami hanya beberapa kali berhenti di rest area yang membuat saya terpukau oleh multifungsinya. Fasilitasnya lengkap: toilet bersih, musala yang nyaman, deretan warung makan hingga kafe modern, minimarket seperti Alfamart dan Indomaret, SPBU, sampai area bermain anak. Semuanya tertata rapi dan terjaga kebersihannya. Jika dibandingkan dengan rest area di Arab Saudi, baik di jalur Riyadh–Mekkah, Madinah, maupun kota lainnya, kali ini Indonesia jelas lebih unggul.
Akhirnya, sampailah juga di Borobudur. Sesampainya di lokasi, Candi agung itu tidak langsung terlihat, karena pandangan tertutup oleh rindangnya pepohonan di kawasan taman yang membentang luas hingga 85 hektare. Nuansa hijau dari hutan kecil yang mengelilingi area candi membuat suasana terasa teduh dan menenangkan. Setiap langkah seakan mengundang rasa penasaran, kapan wujud megah Borobudur benar-benar menampakkan dirinya.
Setelah membeli tiket, kami diarahkan naik shuttle bus. Dari loket ke area Candi jaraknya sekitar satu kilometer. Jalan itu melewati taman yang rindang. Di tengahnya ada pos kecil untuk pendataan dan pemberian perlengkapan naik, termasuk sandal khusus. Rasanya seperti ritual awal sebelum benar-benar memasuki ruang sejarah.
Begitu melewati jalur yang sejuk, puncak stupa pelan-pelan muncul dari kejauhan. Semakin dekat, bayangan itu menjelma menjadi bangunan raksasa. Gagah, kokoh, dan anggun. Ada rasa haru yang sulit diterangkan. Seolah waktu berhenti sebentar, memberi kesempatan bagi siapa pun yang datang untuk meresapi kebesaran Borobudur.
Naik satu demi satu undakan, saya mulai mengerti bahwa Borobudur bukan sekadar tumpukan batu. Ia adalah narasi. Setiap tingkat menyimpan pesan, semacam perjalanan hidup manusia.
Di bagian bawah ada Kamadhatu. Reliefnya bercerita tentang dunia hasrat, nafsu, dan ikatan duniawi. Di sinilah manusia sering terjebak. Kita sibuk dengan keinginan yang tak ada habisnya.
Naik ke tingkat berikutnya, Rupadhatu. Dunia bentuk. Manusia mulai mencari jalan keluar dari lingkaran keinginan. Di sini ada ruang refleksi: tentang batas-batas tubuh, bentuk, dan realitas yang bisa kita lihat.
Lalu puncaknya, Arupadhatu. Dunia tanpa bentuk. Tak ada lagi relief, hanya stupa-stupa yang sunyi. Diam. Seperti ingin mengatakan: pada akhirnya, manusia harus belajar melepas. Meninggalkan semua keterikatan.
Menariknya, kejayaan Borobudur sempat hilang dari pandangan. Selama berabad-abad, candi megah ini terkubur oleh tanah dan tertutup rimbunnya hutan. Baru pada awal abad ke-19, saat Indonesia berada di bawah kekuasaan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Thomas Stamford Raffles (1811–1816), Borobudur kembali ditemukan. Raffles—yang lebih dikenal sebagai administrator kolonial—ternyata juga memiliki minat mendalam terhadap ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
Ia menugaskan seorang insinyur Belanda, H.C. Cornelius, untuk meneliti kabar tentang sebuah bangunan purba di Kedu. Dengan ratusan pekerja, semak belukar dan timbunan tanah dibersihkan. Perlahan, lapisan-lapisan Borobudur kembali muncul. Dari yang semula hanya cerita samar, menjelma menjadi wujud nyata yang bisa disentuh. Dalam konteks kolonial, banyak hal yang pahit memang. Tapi di sisi lain, harus diakui: penemuan kembali Borobudur adalah salah satu sumbangsih Raffles. Tanpa inisiatifnya, mungkin warisan dunia ini masih terkubur lebih lama.
Padahal, Borobudur bukan sekadar candi. Ia adalah jejak kejayaan Kerajaan Mataram Kuno pada abad ke-8, di bawah kepemimpinan Dinasti Syailendra. Dinasti ini dikenal sebagai pemeluk Buddha Mahayana yang sangat kuat, dan Borobudur adalah mahakarya spiritual mereka. Jadi, yang kita saksikan hari ini bukan hanya tumpukan batu, melainkan pesan lintas abad: tentang keyakinan, pengetahuan, dan kemampuan luar biasa bangsa ini di masa lampau.
Ada ironi sekaligus pelajaran. Sebuah warisan agung dari leluhur kita justru sempat hilang dari kesadaran. Baru setelah diangkat kembali oleh orang lain, kita menyadari betapa berharganya peninggalan ini. Borobudur adalah bukti, bahwa identitas kita tak pernah benar-benar hilang—kadang hanya tertutup, menunggu untuk ditemukan kembali.
Padahal, Borobudur bukan sekadar candi. Ia adalah jejak kejayaan Kerajaan Mataram Kuno pada abad ke-8, di bawah kepemimpinan Dinasti Syailendra. Dinasti ini dikenal sebagai pemeluk Buddha Mahayana yang kuat, dan Borobudur adalah mahakarya spiritual mereka. Jadi, yang kita saksikan hari ini bukan hanya tumpukan batu, melainkan pesan lintas abad: tentang keyakinan, pengetahuan, dan kemampuan luar biasa bangsa ini di masa lampau.
Ada ironi sekaligus pelajaran. Sebuah warisan agung dari leluhur kita justru sempat hilang dari kesadaran. Baru setelah diangkat kembali oleh orang lain, kita sadar betapa berharganya peninggalan ini. Borobudur adalah bukti, bahwa identitas kita tak pernah benar-benar hilang—kadang hanya tertutup, menunggu untuk ditemukan kembali.
Mungkin di situ letak pesan Borobudur bagi Indonesia hari ini. Kita sering terjebak dalam keluhan tentang apa yang rusak, apa yang kurang, atau apa yang salah. Tapi sebenarnya, seperti Borobudur, kita punya potensi besar. Ia mungkin tertutup oleh semak, atau terkubur oleh masalah, tapi tidak pernah benar-benar hilang. Yang kita butuhkan hanyalah keberanian untuk menggali kembali, membersihkan, dan merawatnya.
Borobudur mengingatkan: bangsa ini pernah besar. Dan kebesaran itu masih ada di dalam diri kita. Tinggal pertanyaannya—apakah kita mau menemukannya lagi?
Ket: Candi Borobudur, Magelang — Dokumentasi pribadi, 23 Agustus 2025 (Foto: Japri)
Candi Prambanan
Selain Borobudur, perjalanan kami juga membawa langkah ke Candi Prambanan. Letaknya tidak terlalu jauh, berdiri gagah di Sleman, Yogyakarta. Kalau Borobudur adalah mahakarya Buddha, maka Prambanan adalah karya agung Hindu. Dibangun pada abad ke-9, di masa Rakai Pikatan dari Kerajaan Mataram Kuno, Prambanan menjadi bukti bagaimana Nusantara dulu mampu melahirkan peradaban yang tinggi—dengan seni, teknologi, dan spiritualitas yang menyatu.
Begitu memasuki kompleksnya, tiga candi utama langsung mencuri perhatian. Candi Siwa yang megah berdiri di tengah, diapit oleh Candi Brahma dan Candi Wisnu. Ketiganya melambangkan Trimurti: pencipta, pemelihara, dan pelebur. Di dalamnya, terdapat arca-arca yang masih tegak, meski usianya sudah lebih dari seribu tahun.
Seperti Borobudur, Prambanan juga bercerita lewat relief. Dindingnya dipahat dengan kisah Ramayana—tentang cinta, pengorbanan, dan peperangan melawan keangkaramurkaan. Relief itu tak hanya cerita, tapi juga semacam pengingat: bahwa nilai-nilai kebaikan selalu relevan di setiap zaman.
Yang menarik, Prambanan juga pernah terkubur dalam sunyi. Gempa dan waktu merobohkan sebagian besar bangunannya. Bertahun-tahun ia berdiri sebagai reruntuhan, hingga pemugaran besar-besaran dilakukan pada abad ke-20. Apa yang kita lihat hari ini adalah hasil kerja panjang—sebuah upaya untuk mengembalikan marwah peradaban yang sempat runtuh.
Kalau Borobudur mengajarkan perjalanan batin menuju keheningan, Prambanan mengingatkan bahwa hidup adalah harmoni. Trimurti bukan sekadar simbol agama, tapi pesan tentang keseimbangan: mencipta, merawat, dan menerima akhir. Mungkin itulah mengapa, berdiri di antara Prambanan, kita merasa sekaligus kecil dan kuat. Kecil karena dihadapkan pada kebesaran sejarah, kuat karena sadar bahwa bangsa ini pernah—dan bisa—membangun sesuatu yang melampaui dirinya.
Borobudur dan Prambanan seperti dua wajah dari satu peradaban besar. Yang satu mewakili kebijaksanaan Buddha, yang lain mewakili spiritualitas Hindu. Keduanya lahir dari tanah yang sama: Mataram Kuno. Perbedaan keyakinan tak membuat mereka saling meniadakan, justru melahirkan karya agung yang berdiri berdampingan hingga hari ini.
Borobudur berbicara tentang perjalanan batin—tentang melepaskan, mencari ketenangan, dan akhirnya menemukan keheningan. Sementara Prambanan mengajarkan harmoni—tentang keseimbangan dalam hidup, tentang penciptaan, pemeliharaan, dan penerimaan akan akhir. Dua pesan ini, meski lahir dari tradisi yang berbeda, sesungguhnya saling melengkapi.
Ada ironi sekaligus pelajaran di sana. Berabad-abad kita lupa, warisan ini sempat tertimbun tanah, runtuh, dan nyaris hilang. Baru ketika dibangkitkan kembali, kita sadar betapa berharganya. Sama seperti bangsa ini: sering kali kita sibuk dengan perbedaan, lupa bahwa dulu kita mampu hidup dalam keberagaman dan justru melahirkan sesuatu yang abadi.
Borobudur dan Prambanan adalah bukti nyata bahwa Indonesia dibangun di atas pluralitas. Dan justru dari pluralitas itulah lahir peradaban besar. Pertanyaannya sekarang, apakah kita masih sanggup merawat warisan itu—bukan hanya sebagai situs wisata, tapi sebagai nilai yang menuntun jalan kita hari ini?
Ket: Candi Prambanan — Dokumentasi pribadi, 22 Agustus 2025. (Foto: Japri)
Keraton Ratu Boko
Kalau Borobudur adalah mahakarya spiritual, dan Prambanan adalah mahakarya keagungan Hindu, maka Ratu Boko adalah sesuatu yang lain. Ia bukan sekadar candi, melainkan reruntuhan istana—atau tepatnya kompleks keraton—yang berdiri di atas perbukitan, sekitar 196 meter di atas permukaan laut. Dari atas, pandangan ke arah Candi Prambanan dan Gunung Merapi terbuka lebar. Seolah penguasa pada masa itu memang sengaja memilih lokasi ini, bukan hanya untuk fungsi pemerintahan, tetapi juga untuk menegaskan legitimasi politik: bahwa mereka berdiri di titik paling tinggi, mengawasi dunia di bawahnya.
Keraton Ratu Boko diyakini berasal dari abad ke-8, sezaman dengan Borobudur dan Prambanan. Ada perdebatan soal siapa sesungguhnya penguasanya. Sebagian ahli menyebutnya bagian dari Kerajaan Mataram Kuno di bawah Dinasti Syailendra, sebagian lain mengaitkannya dengan Rakai Panangkaran dari Wangsa Sanjaya. Apapun tafsirnya, yang jelas kompleks ini menunjukkan sebuah pergeseran fungsi: dari pusat ritual spiritual ke pusat kekuasaan politik. Batu-batu andesit dipahat membentuk gapura megah, kolam pemandian, hingga ruang-ruang yang diduga menjadi tempat tinggal atau pertemuan resmi.
Di sini kita tidak lagi hanya berbicara tentang religiusitas atau mitologi, tetapi juga tentang strategi kekuasaan. Jika Borobudur adalah doa yang dipahat, dan Prambanan adalah mitologi yang dipadatkan dalam relief, maka Ratu Boko adalah politik yang diwujudkan dalam arsitektur. Ia menunjukkan bahwa kerajaan bukan hanya memerlukan legitimasi spiritual, tetapi juga simbol-simbol kekuasaan duniawi.
Uniknya, Ratu Boko kemudian menyisakan banyak misteri. Tidak semua struktur dapat dipastikan fungsinya. Ada ruang-ruang kosong, bekas pondasi, dan gapura yang seperti mengantarkan kita pada ruang hampa. Seolah ia ingin berbisik: sejarah tidak selalu memberi jawaban, kadang ia hanya meninggalkan jejak, dan kita dipaksa menebaknya.
Melihat Ratu Boko membuat saya berpikir, betapa kerajaan-kerajaan Nusantara itu tidak kalah dengan kerajaan lain di dunia. Mereka punya simbol spiritual, punya karya seni, punya legitimasi politik, dan semuanya diwujudkan dalam bentuk fisik. Hanya saja, waktu kemudian menguji, meninggalkan kita dengan puing-puing yang sekarang menjadi cermin masa lalu.
Ket: Keraton Ratu Boko — Dokumentasi pribadi, 23 Agustus 2025. (Foto: Japri)
Keraton Yogyakarta
Setelah menyinggahi Candi Borobudur, Prambanan, dan puing Keraton Ratu Boko, perjalanan kami berlanjut ke jantung kebudayaan Jawa: Keraton Yogyakarta. Jika Borobudur dan Prambanan adalah simbol kejayaan masa lampau, maka Keraton Yogyakarta adalah penghubung masa lalu dengan masa kini.
Perjalanan ke Keraton Yogyakarta membawa kami pada sebuah narasi lain dari sejarah Jawa: tentang kekuasaan, negosiasi, dan identitas budaya. Keraton bukan sekadar istana; ia adalah representasi dari kosmologi Jawa. Tata ruangnya dirancang sedemikian rupa, dari alun-alun, gapura, hingga bangunan utama, melambangkan keteraturan jagat, hubungan manusia dengan Tuhan, dan keseimbangan antara kekuasaan duniawi dengan spiritualitas.
Sejarah mencatat, Keraton Yogyakarta lahir dari Perjanjian Giyanti tahun 1755, sebuah kesepakatan politik antara VOC dan dinasti Mataram yang membelah kerajaan menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Dari sinilah tampak jelas, bahwa kolonialisme Belanda bukan hanya hadir dalam bentuk dominasi militer, melainkan juga lewat “politik pecah-belah” yang membentuk ulang peta kekuasaan di Jawa. Dengan kata lain, keraton ini lahir dari kompromi antara ambisi kerajaan lokal dan kepentingan dagang kolonial.
Namun, di balik kompromi itu, Keraton Yogyakarta juga menjadi pusat perlawanan dan simbol identitas. Dari sinilah Pangeran Diponegoro memulai Perang Jawa (1825–1830), yang nyaris mengguncang fondasi kekuasaan Belanda di tanah Jawa. Perlawanan Diponegoro, yang berakar dari tanah dan spiritualitas Jawa, menunjukkan bahwa keraton tidak pernah benar-benar menjadi simbol kekuasaan kosong.
Keraton Yogyakarta hari ini tetap berdiri sebagai penanda kontinuitas sejarah. Ia bukan hanya kediaman Sultan, tetapi juga pusat budaya—dari tarian, gamelan, hingga tradisi-tradisi Jawa yang masih hidup. Lebih jauh, keraton ini menyimpan narasi ekonomi dan politik: bagaimana sebuah institusi tradisional beradaptasi dengan kolonialisme, bertahan di tengah modernisasi, dan kini menjadi magnet pariwisata yang menopang ekonomi lokal.
Mengunjungi keraton membuat saya berpikir: inilah paradoks sejarah Jawa. Sebuah istana yang lahir dari perjanjian politik kolonial, tetapi sekaligus menjadi pusat perlawanan terhadap kolonialisme. Sebuah ruang yang dulu menjadi lambang kekuasaan, kini menjadi sumber pendapatan ekonomi, sekaligus simbol kebudayaan yang terus membentuk identitas orang Jawa.
Ket: Keraton Yogyakarta — Dokumentasi pribadi, 23 Agustus 2025. (Foto: Japri)
Perjalanan ke Borobudur, Prambanan, Ratu Boko, dan Keraton Yogyakarta akhirnya menyadarkan saya bahwa sejarah bukan sekadar catatan masa lalu, melainkan cermin untuk hari ini. Di balik batu-batu yang kokoh itu, tersimpan pesan bahwa bangsa ini pernah mampu melahirkan peradaban besar—berakar pada keyakinan, harmoni, dan kebijaksanaan.
Namun, perjalanan ini juga mengingatkan saya pada ironi yang kita hadapi: warisan agung itu sempat terkubur, dilupakan, bahkan runtuh—mirip dengan kondisi bangsa kita sekarang yang terjebak dalam lingkaran masalah struktural dan mentalitas permisif. Sama seperti Borobudur yang pernah terkubur dan Prambanan yang sempat hancur, bangsa ini pun sebenarnya punya peluang untuk bangkit kembali.
Yang kita butuhkan bukan hanya pemimpin baru, melainkan keberanian untuk menggali kembali nilai-nilai luhur, merawat pluralitas, dan membangun institusi yang kuat. Karena kebesaran sejati bukan terletak pada sosok pemimpin, melainkan pada sistem dan budaya yang diwariskan lintas generasi.
Di titik inilah saya merasa, perjalanan pulang kampung bukan hanya soal kembali ke tanah air, tetapi juga soal menemukan kembali jati diri bangsa. Borobudur, Prambanan, Ratu Boko, dan Keraton Yogyakarta seakan berbisik: “Kebesaran itu masih ada, tinggal apakah kita mau menemukannya lagi?”
Author : Ari Mustarinudin
26-08-2025 03:35 WAS