
Serial Pulang Kampung: Part 1 - Kontras
Riyadh - Untuk pertama kalinya dalam sejarah perjalanan pulang kampung, saya harus transit di Dubai, menggunakan pesawat Emirates EK356 dengan waktu tunggu lebih dari empat jam. Lumayan melelahkan. Sejak mendarat, saya dan istri harus berjalan kaki sangat jauh menuju area gate dan ruang tunggu untuk penerbangan ke Jakarta. Yang membuat semakin bingung, di boarding pass kami belum tercantum nomor gate tujuan. Kosong.
Saya coba mengecek dashboard informasi penerbangan. Di situ hanya tertulis bahwa Emirates EK356 tujuan Jakarta akan berangkat dari area Gate C. Tapi Gate C terdiri dari C1 hingga C50—masih terlalu luas untuk dipastikan. Meski belum jelas, informasi itu setidaknya memberi sedikit petunjuk. Saya dan istri pun mulai berjalan mengikuti tanda arah #C, sambil dalam hati bergumam, “Bandara ini luas sekali, ya...”
Langkah kami terasa berat. Kaki sudah mulai kesemutan. Dalam hati saya bertanya-tanya, "Kenapa harus sejauh ini? Apa mungkin gate baru ditentukan setelah pesawat Emirates benar-benar mendarat?" Dugaan saya tak meleset. Setelah bertanya ke petugas, kami diberitahu bahwa informasi lengkap soal gate akan segera diperbarui di layar. Untuk sementara, kami diminta menunggu di Gate C19.
Tak lama, akhirnya muncul konfirmasi: boarding menuju Jakarta akan dilakukan di Gate C8. Artinya, kami harus berjalan lagi, lebih jauh. Di tengah perjalanan, saya melihat beberapa penumpang lansia atau kelelahan memilih naik odong-odong listrik (shuttle dalam bandara)—dan saya mulai memahami kenapa fasilitas itu sangat dibutuhkan.
Sambil terus melangkah, saya membuka ponsel dan mulai mencari tahu lebih dalam tentang Bandara Dubai. Seberapa luas sebenarnya tempat ini? Fasilitasnya seperti apa? Dan bagaimana jika dibandingkan dengan Bandara Soekarno-Hatta di Indonesia? Inilah yang saya temukan:
Perbandingan Dua Bandara: Dubai vs. Soekarno-Hatta
Bandara Internasional Dubai (DXB)
- Kapasitas penumpang: ±90 juta orang per tahun
- Konektivitas: Terhubung ke lebih dari 250 kota internasional
- Fasilitas: Super modern dan mewah
- Teknologi: Canggih – menggunakan AI, biometrik, dan sistem perjalanan seamless
- Transit: Efisien dan global
- Akses ke kota: Terintegrasi langsung dengan Metro Dubai
Bandara Soekarno-Hatta (CGK)
- Kapasitas penumpang: Sekitar 60 juta per tahun
- Konektivitas: Didominasi penerbangan regional
- Fasilitas: Campuran antara bangunan baru dan lama
- Teknologi: Parsial dan masih berkembang
- Transit: Terbatas, lebih fokus pada penerbangan domestik
- Akses ke kota: Tersedia kereta bandara, tapi belum sepenuhnya terintegrasi
Bila melihat data di atas, tampak jelas bahwa dalam hal skala operasional, kemewahan, dan kemajuan teknologi, Bandara Internasional Dubai (DXB) nyaris tak tertandingi. Tak heran jika Dubai secara konsisten masuk daftar bandara tersibuk dan tercanggih di dunia.
Namun demikian, sebuah pertanyaan muncul di benak saya: kenapa dalam beberapa tahun terakhir, Bandara Soekarno-Hatta kerap masuk dalam daftar bandara terbaik dunia? Beberapa versi penilaian—seperti dari Skytrax atau Airports Council International (ACI)—bahkan menempatkannya di peringkat yang cukup tinggi.
Sementara Dubai menawarkan segala kemewahan dan efisiensi, bandara kita yang relatif “tua”, dengan fasilitas yang belum sepenuhnya modern, justru meraih banyak pujian. Ada apa di balik penilaian ini? Apakah karena keramahan petugasnya? Apakah karena faktor kebersihan, efisiensi pelayanan, atau pengalaman budaya yang lebih terasa?
Pertanyaan ini menggantung di kepala saya, sambil kaki terus melangkah mencari tempat duduk di Gate C8.
Saya yang terbiasa dengan nuansa Arab Saudi—dengan iklim panas kering, tata ruang yang lega, dan infrastruktur super luas—tidak bisa tidak membandingkan pengalaman bandara ini. Dubai, sebagaimana Arab Saudi, menyajikan skala besar dalam setiap aspek. Tapi ternyata, pengalaman pengguna bukan semata-mata soal besar atau mewah, melainkan soal kehangatan, kenyamanan, dan keefisienan yang terasa di level personal.
Ket: Penulis saat berada di Bandara King Khalid, Riyadh, 2 Agustus 20 (Foto: Japri)
Antara Mega Struktur dan Rasa Manusiawi
Perjalanan di Bandara Dubai memberi saya pengalaman tentang betapa modernnya sistem transportasi global saat ini. Semua serba digital, cepat, dan efisien—namun juga terasa begitu masif, mekanistik, bahkan dingin. Di tengah arus manusia yang berlalu-lalang dalam diam dan tergesa-gesa, saya sempat merasa seperti bagian kecil dari mesin besar bernama globalisasi.
Sebaliknya, saat saya mengingat pengalaman di Bandara Soekarno-Hatta, saya terbayang senyum petugas bandara, suara pengumuman yang masih beraksen lokal, atau suasana warung kopi kecil tempat orang bisa duduk lebih santai sebelum boarding. Mungkin fasilitasnya belum sekelas Dubai. Tapi ada rasa “manusiawi” yang masih terjaga. Ada kehangatan, yang tak bisa diukur dengan megapixel kamera pengawas atau jumlah gate berteknologi biometrik.
Maka pertanyaan sederhana muncul kembali: Apakah bandara terbaik di dunia selalu berarti yang paling besar, paling canggih, dan paling futuristik? Ataukah justru yang mampu memberi pengalaman yang lebih personal dan membumi?
Pertanyaan ini membawa saya pada kesadaran, bahwa dalam setiap perjalanan—termasuk perjalanan pulang kampung—yang kita cari sebenarnya bukan hanya kecepatan dan kenyamanan fisik. Tapi juga keterhubungan secara emosional. Kita rindu tempat yang bisa membuat kita merasa pulang, bahkan sebelum kaki benar-benar menjejak tanah kelahiran.
Ketika akhirnya duduk di ruang tunggu Gate C8, saya memandang wajah istri saya yang tampak lelah namun bahagia. Ada percakapan kecil yang mengalir, ada senyum yang kembali merekah. Di sekeliling kami, para penumpang lain juga terlihat mulai tenang, menyantap camilan, bermain dengan anak-anak, atau hanya diam sambil mendengarkan musik dari earphone masing-masing.
Sesaat sebelum boarding, saya menyadari satu hal sederhana: pulang kampung bukan hanya soal perjalanan fisik dari satu titik ke titik lain. Tapi juga soal menyeberangi jarak antara rasa asing dan rasa akrab, antara teknologi dan kehangatan, antara modernitas dan kerinduan.
Dubai mungkin menang dalam urusan skala dan kemegahan. Tapi Indonesia—dalam segala keterbatasannya—masih punya sesuatu yang tak tergantikan: jiwa.
Ket: Penulis di dalam pesawat Emirates EK356 menuju Dubai, 2 Agustus (Foto: Japri)
Menyisir Jejak Identitas
Pengalaman transit di Dubai, berjalan berkilo-kilometer hanya untuk menunggu penerbangan lanjutan ke Jakarta, memberi saya ruang untuk merenung lebih dari biasanya. Dalam kepenatan dan kekaguman atas kecanggihan yang ditawarkan bandara ini, saya justru disadarkan akan satu hal: kita sedang hidup di era ketika kemajuan peradaban sering kali mengejar kecepatan, namun kadang melupakan makna.
Bandara Dubai, dengan segala kemegahannya, mencerminkan wajah dunia global yang penuh akselerasi. Tapi saat saya googling di tengah jalan menuju gate, membandingkan data antara DXB dan Soekarno-Hatta, saya menyadari bahwa data tak selalu bicara seluruhnya. Ada sisi-sisi tak terukur dalam pengalaman manusia: keramahan petugas, atmosfer ruang tunggu, bahkan desain interior yang terasa lebih membumi. Hal-hal ini kadang menjadi alasan mengapa bandara “biasa saja” bisa memenangkan hati banyak orang.
Barangkali itulah yang dirasakan penumpang dari luar negeri ketika pertama kali mendarat di Indonesia: rasa hangat yang datang bukan dari suhu ruangan, tapi dari cara petugas menyapa, dari senyum tak dibuat-buat, dan dari bahasa-bahasa yang familiar di telinga. Dalam dunia yang semakin seragam, tempat seperti ini menjadi oase yang memberi identitas—yang membisikkan bahwa kita memang berbeda, dan itulah keistimewaan kita.
Saat mendekati waktu boarding, saya kembali menatap layar yang menampilkan jadwal keberangkatan: Jakarta – On Time.
Ada rasa lega, ada pula rasa haru yang diam-diam muncul.
Karena pulang itu bukan hanya soal kembali ke rumah secara fisik. Tapi tentang menemukan kembali siapa diri kita di tengah dunia yang terus berubah
Pulang adalah perjalanan spiritual—melintasi bandara, kota, negara, dan akhirnya masuk ke ruang batin paling dalam, tempat kita merasa diterima tanpa syarat.
Dubai boleh menakjubkan. Tapi Jakarta tetap rumah.
Dan rumah, seperti kata orang bijak, adalah tempat di mana hati kita bisa beristirahat tanpa rasa takut.
Tulisan ini saya beri judul Kontras bukan untuk menghakimi, tapi untuk merayakan perbedaan. Bandara Dubai dan Bandara Soekarno-Hatta ibarat dua kutub: satu mewakili masa depan, satu lagi memelihara akar masa lalu dan identitas. Keduanya penting, keduanya sah.
Saya hanya ingin mencatat, bahwa dalam perjalanan pulang kampung kali ini, saya menemukan pelajaran berharga di antara lorong-lorong bandara: bahwa ukuran kemajuan tak selalu identik dengan besarnya bangunan, tapi dengan bagaimana suatu tempat bisa membuatmu merasa tidak asing, tidak sendirian, dan tidak tersesat.
Jika esok saya diberi pilihan untuk transit lagi, saya mungkin tetap memilih rute tercepat. Tapi saya juga akan lebih siap, karena kini saya tahu: di balik bandara yang megah, saya tetaplah manusia biasa yang hanya ingin pulang—ke pelukan tanah air, dan ke suara-suara yang tak perlu diterjemahkan.
Author : Ari Mustarinudin
08-08-2025 07:31 WAS