
Ibrahim, AS
Riyadh - Suatu malam, Ibrahim memandangi bulan yang bersinar terang, menyinari seluruh penjuru bumi. Ia pun berkata, “Inilah Tuhanku.” Namun, ketika fajar menyingsing dan bulan menghilang, ia berubah pikiran. “Jika sesuatu bisa lenyap dan hilang, maka ia tak pantas disebut Tuhan. Tidak!” serunya.
Di waktu lain, ia menatap langit malam yang dihiasi gemerlap bintang-bintang—indah dan menakjubkan. Ia berkata, “Inilah Tuhanku. Lebih indah dan lebih tinggi.” Tetapi, bintang-bintang itu pun memudar saat siang datang. Kembali ia berkata, “Sekali lagi—jika bisa lenyap, maka tak pantas disebut Tuhan. Tidak!”
Lalu, ketika ia melihat matahari bersinar terang di siang hari, Ibrahim kembali takjub. Ia berseru, “Inilah Tuhanku—lebih besar, lebih terang, dan lebih perkasa!” Namun saat matahari terbenam dan menghilang di balik cakrawala, Ibrahim merasa kecewa dan frustrasi. Ia berdiri tegak, lalu berseru dengan penuh keyakinan:
“Wahai Zat yang menguasai langit, bumi, laut, dan udara; yang mengatur timur, barat, selatan, dan utara; yang menguasai segala yang lahir dan batin—aku berserah diri hanya kepada-Mu. Engkaulah Tuhanku.”
Perjalanan pencarian Ibrahim ini, jika dipadatkan dan dilembagakan, itulah yang dinamakan Islam—penyerahan diri secara total kepada Tuhan yang sejati.
Redaksi cerita di atas tentang pencarian Ibrahim tentu tidaklah persis demikian. Ia hanyalah sebuah metafora, ilustrasi untuk menggambarkan perjalanan batin seorang manusia pilihan Tuhan yang kelak diangkat menjadi Nabi. Meskipun demikian, kisah pencarian jati diri dan pengenalan Ibrahim terhadap Tuhannya ini diabadikan dalam Al-Qur’an—tepatnya dalam Surah Al-An’am ayat 75 hingga 79.
Mungkin akan timbul pertanyaan: kapan tepatnya peristiwa ini terjadi? Di mana lokasinya? Dan tanggal berapakah peristiwa ini berlangsung? Sayangnya, tidak ada catatan sejarah yang menyebutkan secara rinci waktu dan tempatnya dalam pengertian kronologi modern. Yang pasti, peristiwa ini terjadi ribuan tahun silam, di sebuah wilayah yang dikenal dalam sejarah sebagai Mesopotamia—kawasan yang kini disebut sebagai Timur Tengah.
Evolusi Pencarian
Zaman Nabi Ibrahim dan zaman kita sekarang tentu sangat berbeda. Keduanya terpaut jarak waktu sekitar 4.000 tahun. Namun demikian, pola pencarian spiritual seperti yang dialami Nabi Ibrahim tetap relevan hingga hari ini—meski bentuk dan jalurnya berubah mengikuti konteks zaman.
Di era kontemporer yang sarat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, pencarian tentang Tuhan mengambil wujud yang berbeda: lebih rasional, lebih kritis. Pertanyaan-pertanyaan seperti: “Apakah Tuhan benar-benar ada, atau hanya hasil konstruksi pikiran manusia?” kini menjadi bahan diskusi luas—baik di kalangan filsuf maupun ilmuwan.
Bahkan dari perspektif neurosains, kesadaran spiritual dan keyakinan terhadap Tuhan menjadi objek penelitian. Apakah iman hanyalah hasil aktivitas otak? Apakah pengalaman religius bisa direduksi menjadi stimulus neurokimia semata? Ataukah justru semua ini membuktikan bahwa manusia memang diciptakan dengan potensi untuk merasakan kehadiran Tuhan?
Pertanyaan-pertanyaan semacam ini menunjukkan bahwa meskipun bentuknya berubah, hakikat pencarian itu tetap sama. Evolusi pencarian Ibrahim kini hidup dalam bentuk yang lebih kompleks, namun tetap menyimpan inti yang serupa: kerinduan akan kebenaran yang hakiki dan kekal.
Sayangnya, dalam konteks kekinian, banyak orang ceroboh dan gagal memahami kompleksitas ketuhanan karena terjebak dalam kesombongan intelektual. Hanya karena menguasai satu bidang tertentu—atau bahkan belum mencapai tingkat kepakaran—lalu berani menyimpulkan bahwa Tuhan itu tidak ada, bahwa nyawa tidak ada. Mereka menganggap bahwa fenomena alam, struktur tubuh manusia, dan kehidupan ini sepenuhnya dapat dijelaskan oleh sains modern.
Padahal itu hanyalah asumsi yang bersandar pada pengetahuan manusia yang sangat terbatas—bagaikan seseorang yang meraba bagian tubuh seekor gajah dan mengira telah memahami seluruh sosoknya.
Pencarian Nabi Ibrahim bukan sekadar kisah masa lampau, melainkan cerminan perjalanan spiritual yang terus berlangsung dalam kehidupan manusia hingga kini. Di tengah perkembangan zaman dan derasnya arus pengetahuan modern, manusia tetap dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang keberadaan, tujuan, dan asal usulnya. Pencarian akan kebenaran hakiki dan Tuhan yang sejati adalah fitrah yang tak lekang oleh waktu.
Di era rasionalitas ini, iman bukan berarti menolak ilmu pengetahuan, tetapi justru memperkaya pemahaman terhadap kehidupan secara utuh. Pengetahuan mestinya merendahkan hati, bukan meninggikan kesombongan. Karena di hadapan Tuhan yang Mahaluas, segala kecanggihan manusia tetap hanya setitik kecil dari samudra ilmu-Nya.
Ibrahim menunjukkan kepada kita bahwa ketulusan mencari kebenaran dengan hati yang bersih akan selalu menemukan jalan menuju cahaya. Dan Islam, sebagai jalan penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan, adalah bentuk tertinggi dari pencarian itu—yang tak lekang oleh waktu, dan terus hidup di setiap zaman.
Taqabbalallahu minna wa minkum. Mohon maaf lahir dan batin
Author : Ari Mustarinudin
07-06-2025 11:08 WAS